Stok beras Bulog: Prestasi atau masalah?
Bulog menuai pujian dari banyak pihak. Setidaknya sejak Mei 2025 lalu. Tidak hanya dari pengamat, petani, Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Menko Pangan Zulkifli Hasan, tetapi juga dari Presiden Prabowo Subianto. Pujian berpusat pada capaian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pangan ini dalam menyerap gabah/beras petani. Jumlah serapan lebih 4 juta ton beras. Tertinggi sepanjang sejarah. Bahkan, dalam pidato kenegaraan 15 Agustus 2025, Prabowo secara khusus (kembali) menyebut capaian ini. Ini, kata Prabowo, menandai kembalinya Indonesia sebagai negara pengekspor beras. Setelah pupus puluhan tahun.
Data historis menunjukkan lonjakan stok cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola Bulog pada 2025 juga tercepat sepanjang sejarah. Dari 1,7 juta ton pada Januari 2025, stok CBP melonjak drastis jadi 3,5 juta ton per 4 Mei 2025 atau meningkat 1,8 juta ton tanpa impor dalam empat bulan. Capaian ini tak lepas dari kinerja produksi yang Januari-September 2025 ditaksir 28,24 juta ton beras, terbesar 7 tahun terakhir. Per 16 Agustus 2025, stok beras di Bulog mencapai 4,115 juta ton. Sebesar 1,792 juta ton dari 4,115 juta ton adalah stok akhir 2024. Sisanya merupakan penyerapan tahun ini.
Di sisi lain, harga beras, medium dan premium, di pasar tetap tinggi, bahkan terus naik. Di sejumlah jejaring retail modern aneka merek beras premium menghilang. Jika pun terpajang, jumlahnya terbatas dan pembelian dibatasi. Penjelasan pejabat dan pemberitaan yang campur-aduk antara ‘212 merek yang diduga mengurangi volume, menurunkan mutu, dan menjual di atas harga eceran tertinggi (HET)’ dengan isu ‘beras oplosan’ membuat konsumen resah, pedagang-peretail waswas, dan penggilingan takut.
Rentang Januari-Juli 2025 (BPS, 2025), harga beras di penggilingan naik 4,29%, di grosir 4,72%, dan di eceran 4,15%. Secara persentase kenaikannya tidak besar. Tapi di bulan-bulan tertentu kenaikannya tinggi, terutama di bagian timur Indonesia. Selain itu, 6 dari 7 bulan pada Januari-Juli 2025 beras jadi penyumbang inflasi. Khusus di Juli 2025 andil inflasi beras mencapai 0,96%, tertinggi di antara komoditas pangan. Di pekan ketiga Agustus 2025 harga beras naik di 200 kabupaten/kota, naik dari pekan sebelumnya (193 kabupaten/kota). Semua fakta ini menandai kenaikan harga beras mengkhawatirkan.
Pertanyaannya kemudian, stok beras Bulog jumbo itu prestasi atau (sumber) masalah? Sependek pengetahun penulis, stok beras Bulog tidak pernah menjadi ukuran prestasi. Baru tahun ini stok beras jadi ajang puja-puji dan pamer prestasi. Adalah benar level stok beras penting untuk memastikan pemerintah memiliki instrumen memadai dalam mengendalikan harga. Stok yang memadai adalah ‘senjata’ ampuh bila ada pihak-pihak yang bermain di air keruh. Dengan stok lebih 4 juta ton hampir bisa dipastikan tidak ada yang berani, menimbun misalnya. Karena pasar bisa di-‘bom’ dan harga turun.
Di masa lalu ada instrumen pelindung konsumen dari kenaikan harga dan inflasi bernama ‘harga langit-langit’ (ceiling price), yang mirip HET beras. Tapi ada perbedaan prinsip antara ceiling price dengan HET. Pertama, ceiling price tidak mengikat publik seperti HET. Ceiling price hanya mengikat pemerintah melalui Bulog. Kalau ‘harga langit-langit’ terlampaui, Bulog mengintervensi pasar, lewat operasi pasar misalnya, menggunakan stok yang dikelola. Kedua, ceiling price tak pernah diumumkan ke publik seperti HET. Karena itu intervensi pasar dilakukan diam-diam. Pasar beras tidak gaduh.
‘Harga langit-langit’ dikawinkan dengan instrumen perlindungan petani produsen bernama ‘harga dasar’ (floor price), mirip harga pembelian pemerintah (HPP) gabah saat ini. Perbedaannya, ‘harga dasar’ tidak dibatasi kuantum seperti HPP. Kalau harga gabah di bawah ‘harga dasar’, Bulog wajib menyerap. Berapapun jumlah gabah. Sementara esensi HPP adalah sebagai pelindung produsen dari kerugian dengan menyerap sesuai target. Memainkan dua fungsi, pelindung konsumen dan produsen, secara seimbang jadi krusial bagi Bulog. Tak boleh miring ke produsen. Dan sebaliknya. Itu tidak adil.
Untuk menjaga keseimbangan bandul perlindungan konsumen dan produsen itu Bulog tidak seleluasa korporasi swasta. Sebagai operator, langkah Bulog harus atas penugasan regulator. Dalam hal ini Badan Pangan Nasional, melalui keputusan rapat koordinasi terbatas di bawah Menko Pangan. Masalahnya penugasan regulator membuat keseimbangan dua fungsi itu bisa berjalan miring. Demi mengejar penyerapan 3 juta ton beras, seperti target di Inpres No. 6/2025, Bulog mengembangkan skema maklon guna menyerap gabah semua kualitas sesuai HPP: Rp6.500/kg. Harga gabah pun terkerek naik.
Sejauh ini kebijakan HPP terbukti cukup efektif memberikan dukungan harga (support price) dan menjamin keuntungan layak petani. Ini tercermin dari harga gabah yang rerata selalu di atas HPP. Ini menandakan dua hal. Pertama, semua gabah/beras terserap pasar. Kedua, ini juga mengindikasikan surplus produksi tidak signifikan alias tipis. Dalam kondisi demikian menargetkan Bulog membeli beras 3 juta ton dan harus bersaing dengan pedagang/penggilingan pasti akan membuat harga meningkat. Situasi bakal kian runyam jika tambahan target serapan 1 juta ton beras Bulog direalisasikan.
Kekeliruan lain adalah menjadikan beras sebagai stok statis hingga tercipta rekor terbesar sepanjang sejarah. Beras adalah barang tak tahan lama. Idealnya hanya disimpan 4 bulan. Saat ini ada ratusan ribu ton beras Bulog berusia lebih setahun. Beras ini berisiko susut volume, turun mutu, bahkan rusak. Penyimpanan juga membebani biaya pengelolaan. Ketika harga beras di pasar naik, stok seharusnya dialirkan ke pasar. Ironisnya, tatkala harga melampaui batas psikologis 10% di atas HET beras tidak juga dialirkan. Baik untuk operasi pasar maupun bantuan pangan beras. Logis bila harga beras tinggi. Operasi pasar dan penyaluran bantuan pangan, medio Juli lalu, amat terlambat.
Paparan di atas hendak menegaskan satu hal: tak masalah mentarget penyerapan beras ke Bulog sepanjang itu bukan harga mati. Karena pada dasarnya yang hendak diserap adalah tumbuhan, yang dalam proses tumbuh tidak bisa sepenuhnya dikalkulasi matematis seperti produk manufaktur. Faktor alam belum sepenuhnya bisa dijinakkan. Lebih dari itu, tatkala target penyerapan dijadikan sasaran mencetak rekor stok tertinggi tanpa penyaluran, ini awal malapetaka. Ini menyimpang dari filosofi stabilisasi harga. Termasuk kebijakan tak ada impor beras bagi Bulog tahun ini. Semoga ini disadari.


