Usulan agar perbatasan antara wilayah diatur secara rinci dalam sebuah undang-undang khusus mengemuka di parlemen. Sejumlah anggota DPR menilai pengaturan lebih rinci perlu dilakukan agar kasus serupa dengan sengketa rebutan empat pulau antara Pemprov Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) tak terjadi lagi.
“Ke depan, memang lebih memadai dari aspek konstitusional agar pengaturan mengenai batas wilayah diatur dan ditetapkan melalui undang-undang,” kata anggota Komisi II DPR RI Ahmad Irawan dalam siaran pers kepada wartawan di Jakarta, Senin (16/6).
Sumut dan Aceh memperebutkan Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Lipan yang ada di perbatasan kedua provinsi. Sengketa empat pulau muncul setelah terbit putusan Kemendagri yang mengalihkan pengelolaan administrasi empat pulau itu dari Aceh ke Sumut.
Putusan itu diprotes warga Aceh. Gubenur Aceh Muzakir Manaf menolak menyerahkan empat pulau itu ke Sumut. Presiden Prabowo Subianto bahkan harus turun tangan untuk menangani friksi tersebut. Dalam keputusannya, Prabowo mengembalikan keempat pulau itu ke tangan Aceh.
Analis politik dari Asosiasi Dosen Ilmu Pemerintahan Seluruh Indonesia (ADIPSI) Darmawan Purba sepakat perbatasan antara wilayah perlu diatur lebih rinci. Persoalan batas wilayah, kata dia, tak cuma perkara administrasi saja.
"Tetapi juga berdampak pada pengelolaan sumber daya alam, fiskal daerah, pelayanan publik, hingga potensi konflik sosial-politik di tingkat lokal," ucap Darmawan kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Menurut Darmawan, kasus sengketa antara Aceh dan Sumut merupakan salah satu contoh nyata yang menunjukkan bahwa perbatasan masih menjadi titik rawan dalam relasi antara provinsi atau antara kabupaten dan kota. Namun, ia mengingatkan agar pengaturan lebih rinci mempertimbangkan muatan UU lain yang sudah ada sebelumnya. .
"Karena hal itu bisa bertabrakan dengan prinsip lex superior derogat legi inferiori (aturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah)," kata Darmawan.
Darmawan merinci sejumlah aspek yang mesti dijadikan dasar dalam pengaturan batas wilayah. Pertama, aspek yuridis mengacu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, UU Pembentukan Daerah dan peraturan perundangan terkait penataan ruang dan administrasi kependudukan.
Penyempurnaan UU, lanjut dia, juga perlu menyertakan lampiran batas wilayah secara kartografis serta koordinat geospasial yang akurat dan mutakhir. Aspek historis perbatasan juga perlu dimuat untuk jadi acuan dalam menentukan batas wilayah.
"Menggali sejarah pemekaran atau pembentukan wilayah, termasuk dokumen-dokumen seperti besluit Belanda, peta lama, atau keputusan administratif pada masa lalu. Ketiga, aspek geospasial, harus berdasarkan data dan peta geospasial yang telah disahkan oleh BIG (Badan Informasi Geospasial) dan berstandar nasional," kata dia.
Hal lain yang harus dipastikan ialah aspek partisipatif. Penyusunan detail perbatasan antarwilayah harus melibatkan pemerintah daerah terkait, masyarakat lokal, dan tokoh adat agar tidak menimbulkan konflik sosial," kata Darmawan.
"Kelima, aspek sosial ekonomi yang mesti diperhatikan agar batasan daerah tidak merugikan secara ekonomi kepada masyarakat, khususnya dari sisi pelayanan publik dan ekonomi lokal," jelas Darmawan.
Analis politik dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Mukhrijal pengaturan batas wilayah secara rinci urgen demi memastikan tak ada lagi sengketa sebagaimana yang terjadi antara Aceh dan Sumut. Apalagi, saat ini masih ada sejumlah daerah yang berkonflik soal perbatasan.
"Ini menyangkut tentang bagaimana pemerintah kabupaten dan kota mengelola rumah tangganya sendiri. Apalagi jika di kemudian hari ada perbatasan wilayah yang memiliki (sumber daya) potensial. Ini ditakutkan terjadi konflik," kata Mukhrijal kepada Alinea.id.
Mukhrijal menyebut sejumlah hal yang wajib dipertimbangkan dalam pengaturan batas-batas antarwilayah. "Tentunya aspek historis, hukum, teknis, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat menjadi dasar yang perlu diperhatikan," jelasnya.