close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Foto: Pexel
icon caption
Foto: Pexel
Peristiwa
Kamis, 19 Juni 2025 20:05

Tertarik memulai hidup baru di Jerman? Pikirkan lagi diskriminasinya!

Jika tren ini terus berlanjut, Jerman bisa menghadapi masalah serius.
swipe

Bagi banyak orang Indonesia dan warga negara lain, Jerman selama ini dianggap sebagai salah satu tempat terbaik untuk memulai hidup baru: ekonomi kuat, sistem pendidikan dan kesehatan mapan, serta peluang kerja yang menjanjikan. Tapi di balik citra tersebut, semakin banyak imigran di negara itu kini merasa asing di tempat yang seharusnya bisa mereka sebut rumah.

Laporan terbaru dari Institut Riset Pasar Tenaga Kerja dan Pekerjaan Jerman (IAB) mengungkapkan bahwa sekitar 2,6 juta imigran atau seperempat dari total imigran di Jerman mempertimbangkan untuk meninggalkan negara tersebut. Alasan utamanya: diskriminasi yang kian terasa nyata.

Fatih Zingal, seorang pengacara yang aktif membela hak-hak imigran, menilai situasi ini sebagai cerminan dari meningkatnya rasisme di Jerman, yang kini terasa di hampir semua ruang sosial. 

“Banyak dari mereka tidak hanya ingin pulang ke negara asal, tapi memilih pindah ke negara lain seperti Italia, Spanyol, Kanada, atau bahkan Amerika Serikat,” ujarnya kepada Anadolu Agency.

Zingal menyebut, kendala adaptasi budaya, tertutupnya masyarakat lokal, serta iklim politik yang semakin konservatif, menjadi pemicu utama. “Bahkan mereka yang sudah bekerja di Jerman selama satu atau dua tahun, termasuk lulusan universitas, mulai merasa tidak punya masa depan di sini,” ujarnya.

Salah satu indikator paling nyata adalah naiknya elektabilitas Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) yang dikenal anti-imigran, yang kini mendekati angka 25 persen dalam survei politik. Menurut Zingal, ini bukan sekadar angka. "Ketika satu dari empat orang mendukung ideologi itu, rasisme tidak lagi disembunyikan. Ia jadi bagian dari keseharian," tegasnya.

Diskriminasi yang Dirasakan Sehari-hari
Bukan hanya perlakuan tidak menyenangkan secara verbal, Zingal menyebut diskriminasi bahkan menyusup ke sektor layanan dasar: menyewa rumah, membeli mobil, atau mengakses kredit. 

“Meskipun punya penghasilan dan dokumen yang sama, imigran sering kali harus berjuang jauh lebih keras daripada warga asli Jerman,” katanya. Bahkan warga keturunan yang lahir dan besar di Jerman tetap merasakan perlakuan berbeda.

Zingal menambahkan bahwa penegakan hukum terhadap kasus-kasus diskriminatif dan kekerasan rasial masih lemah. “Aturan mungkin sudah ada, tetapi pelaksanaannya sering kali tidak tegas,” ujarnya. Ia juga mengkritik sikap diam para politisi yang lebih mementingkan suara pemilih daripada membela hak asasi manusia. 

“Ketika 25 persen pemilih Anda punya pandangan rasis, banyak politisi memilih bungkam demi elektabilitas,” kata Zingal.

Ironisnya, sebagian besar dari mereka yang mempertimbangkan untuk pergi justru adalah tenaga kerja terampil dan berpendidikan tinggi—orang-orang yang sangat dibutuhkan Jerman. Studi IAB menunjukkan, niat untuk pergi paling tinggi ditemukan di sektor teknologi informasi (39%), keuangan (30%), serta layanan kesehatan dan sosial (28%).

Jika tren ini terus berlanjut, Jerman bisa menghadapi masalah serius. Negara ini sudah bergantung pada imigran untuk mengisi kekurangan tenaga kerja, terutama di sektor vital. “Jika orang-orang pintar dan berketerampilan tinggi memilih negara lain, Jerman akan menghadapi tekanan ekonomi yang besar,” ujar Zingal.

Meski secara resmi terbuka bagi berbagai latar belakang, kebijakan imigrasi Jerman masih lebih menguntungkan pendatang dari sesama negara Eropa. Ini membuat banyak talenta global, termasuk dari Asia dan Afrika, mulai mempertimbangkan ulang pilihan mereka.(aa)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan