sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Dana desa kian rentan dikorupsi

Sepanjang 2022, lebih dari 300 kepala desa ditangkap karena terjerat kasus korupsi dana desa.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Selasa, 02 Apr 2024 11:09 WIB
Dana desa kian rentan dikorupsi

Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa resmi disahkan di sidang paripurna DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (28/3) lalu. Memenuhi tuntutan perangkat desa dalam sejumlah aksi unjuk rasa di DPR, para politikus Senayan sepakat memperpanjang jabatan kepala desa dan menambah alokasi dana desa per tahun. 

Alokasi dana desa kini dipatok setidaknya 10% dari dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil yang diterima kabupaten/kota dalam APBD. Sebelum UU Desa direvisi, alokasi dana desa ditetapkan minimal 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten atau kota dalam APBD setelah dikurangi dana alokasi khusus (DAK).

Adapun masa jabatan kepala desa naik dari 6 tahun menjadi 8 tahun per periode. Kepala desa bisa dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Masa jabatan kepala desa selama 8 tahun serupa dengan masa jabatan mereka di era Orde Baru. 

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Suparman menilai penambahan dana desa hasil revisi UU Desa semakin memperbesar potensi maraknya praktik korupsi dana desa. Apalagi, revisi UU Desa luput mengatur penguatan tata kelola dana desa oleh perangkat desa. 

"Kalau kita bicara tata kelola dana desa itu kita lihat proses perencanaan seperti apa, proses penganggaran. Terutama yang kita harapkan adakah penganggaran itu benar-benar akuntabel, transparan, dan partisipatif," ujar Armand, sapaan akrab Herman, kepada Alinea.id, Senin (1/4).

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat kepala desa merupakan salah satu aktor yang paling banyak terjerat kasus-kasus korupsi. Dari total 1.259 pelaku korupsi yang ditangkap sepanjang 2022, sebanyak 319 orang berprofesi sebagai kepala desa. 

Armand merinci sejumlah praktik penyimpangan dana desa yang lazim terjadi. Pertama, dana desa di rekening pribadi kepala desa sehingga potensial disalahgunakan. Kedua, penggelembungan dana proyek sehingga biayanya membengkak, tetapi hasilnya tak maksimal. 

"Semisal anggaran jalan desa yang dikeluarkan dana untuk 1 kilometer, tetapi yang dikerjakan cuma 500 meter. Ada juga untuk kepentingan pribadi, untuk membeli barang-barang mewah. Itu modus-modus yang selalu dilakukan oleh oknum kepala desa. Semisal untuk membeli kendaraan bermotor yang harganya Rp25 juta, tetapi dalam laporan itu Rp29 juta," ucap Armand. 

Sponsored

Menurut Armand, salah satu faktor penyebab maraknya kasus korupsi yang melibatkan kepala desa ialah lemahnya pengawasan. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang semestinya mengawasi kinerja perangkat desa justru malah kerap berperan sebagai kroni para kepala desa. 

Penguatan BPD sebagai pengawas dana desa, kata Armand, sama sekali tidak dibahas dalam revisi UU Desa. "Malah yang muncul adalah penambahan jaminan dan segala macam. Padahal, BPD penting sebagai pengawasan di level desa," imbuh dia. 

Analis politik dari Universitas Brawijaya (Unibraw) George Towar Ikbal Tawakkal menilai praktik korupsi dana desa tidak hanya terjadi ketika dana sudah berada di tangan perangkat desa. Penyalahgunaan dana desa bisa juga terjadi pada saat penyaluran dana tersebut di semua level. 

"Karena ada kasus dana yang mereka terima itu tidak utuh. Ada potongan macam-macam yang berjenjang. Jadi, semakin banyak jenjang, semakin banyak potongan-potongannya," kata Ikbal kepada Alinea.id, Senin (1/4).

Ikbal sepakat kasus-kasus korupsi dana desa potensial kian marak setelah revisi UU Desa. Sebagai salah satu solusi, ia mengusulkan agar BPD sebagai pengawas kinerja perangkat desa kembali dipilih oleh warga. Selama ini, menurut Ikbal, anggota BPD kerap diisi oleh orang dekat kepala desa.

"Kemarin saja, (dana desa) yang Rp1 miliar saja kita tidak bisa maksimal. Pemerintah desa tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk mengelola anggaran karena SDM di pemerintah desa yang tidak semuanya memiliki kompetensi di bidang keuangan atau tidak memiliki latar belakang mengurus anggaran," kata Ikbal.

Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa ikut turun tangan untuk mengawasi pengelolaan dana desa. Dengan asumsi dana desa naik hingga Rp2 miliar, KPK punya wewenang untuk mengusut kasus-kasus dugaan penyelewengan dana desa. 

"Ini peluang KPK untuk masuk. Pemotongan bisa terjadi sebelum dana ditransfer ke desa, semisal dana Rp2 miliar,  tetapi yang sampai Rp1,7 miliar. Yang Rp300 juta ke mana? Sebelumya KPK tidak terlibat dalam alur itu. Dengan sekarang dana desa ditambah, KPK harus lebih jeli," kata Ikbal.

 

Berita Lainnya
×
tekid