sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Anggota Baleg DPR nilai wisatawan perlu dikecualikan dalam RUU Minol

Anggota Baleg DPR dukung RUU Minol untuk segera disahkan menjadi UU.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Selasa, 17 Nov 2020 19:00 WIB
Anggota Baleg DPR nilai wisatawan perlu dikecualikan dalam RUU Minol

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Bukhori memandang perlu adanya pengecualian yang diatur dalam rumusan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Berakohol (RUU Minol). Pengecualian larangan minol di antaranya ditujukan untuk kepentingan wisatawan, ritual kebudayaan, dan medis.

"Pengecualian atas kepentingan tourism, pengecualiaan atas ritualism, pengecualian atas kepentingan farmasi," kata Bukhori dalam rapat Baleg DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/11).

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menilai, pengecualian tersebut telah diatur dalam RUU tersebut. Pengecualian yang dimaksud Bukhori merujuk pada Pasal 8 RUU Larangan Minol.

Dalam aturan itu disebutkan bahwa Minol diperbolehkan untuk kepentingan terbatas, seperti adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Ketentuannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP).

"Dan saya lihat, dalam RUU ini ada pengecualian," ujarnya.

Sementara itu, anggota Baleg DPR lainnya M Ali Taher menyatakan mendukung RUU Larangan Minol untuk dapat dibahas dan disahkan. Dukungan pembahasan itu ditujukan untuk menyelematkan warga negara dari bahaya minol.

"Bukan berarti mengabaikan hak masyarakat, dalam konteks kultural dan konteks lain, tetapi menyelamatkan sebuah perahu besar itu menjadi sangat penting dalam kehidupan berbangsa," katanya.

Baginya, RUU Larangan Minol telah mengadaptasi dari salah satu aspek Pancasila, yakni Ketuhanan. Karena itu, dia memandang, suatu produk hukum perlu mengaplikasikan aspek-aspek dari Pancasila.

Sponsored

"Fungsi UU itu adalah mengintegrasi Pancasila. Jadi, UU itu adalah mengintegrasi (aspek Pancasila) itu dalam UU, baik aspek Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Permusyawaratan, juga Keadilan Sosial," kata Taher.

"Oleh karena itu, saya bersyukur mendahului ya, rapat hari ini. Ketum kami sudah menyampaikan kemarin rapat pleno fraksi. Jadi suara partai nih, Bahwa PAN mendukung inisiatif teman-teman untuk ini menjadi UU yang bersifat lex generalis. Posisi UU ini lah lex generalis," imbuh Taher.

Untuk diketahui, RUU Larangan Minol merupakan salah satu yang mendapat penolakan publik setelah UU Cipta Kerja. Setidaknya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memiliki tiga alasan rancangan itu harus ditolak.

Pertama, RUU Larangan Minol dinilai memakai pendekatan prohibitionist, dengan memuat ketentuan Pasal 7 yang melarang setiap orang mengonsumsi minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional, dan minuman beralkohol.

ICJR menilai larangan itu berpotensi akan menyebabkan orang yang melanggar diganjar ketentuan pidana Pasal 20, dengan pidana penjara paling sedikit tiga bulan dan paling lama dua tahun atau denda paling sedikit Rp10 juta, dan paling banyak Rp50 juta.

"Dengan semangat prohibitionist atau larangan buta, hanya akan memberikan masalah besar, seperti apa yang negara Indonesia hadapi pada kebijakan narkotika, seluruh bentuk penguasaan narkotika dilarang dalam UU justru membuat lebih dari 40.000 orang pengguna narkotika dikirim ke penjara, memenuhi penjara dan membuat peredaran gelap narkotika di penjara tak terelakkan," kata Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu, dalam keterangannya, Rabu (11/11).

Kedua, pengaturan tentang penggunaan alkohol yang membahayakan sudah diatur dalam ketentuan Pasal 492, Pasal 300 KUHP. Dalam Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) ketentuan pasal ini juga masih dimuat.

"Seluruh tindak pidana dalam RUU Larangan Minol harusnya diharmonisasikan pada pembahasan RKUHP yang sedang dibahas di DPR, tidak perlu dengan RUU sendiri, yang bahkan dengan pendekatan yang usang," tegas Erasmus.

Ketiga, pemerintah dan DPR RI terlebih dahulu harus membuat riset mendalam mengenai cost-benefit analysis atas kriminalisasi seluruh tindakan yang terkait dengan produksi, distribusi, kepemilikan, dan penguasaan minuman beralkohol. ICJR merasa pemangku kepentingan tidak memuat analisis tersebut.

Berita Lainnya
×
tekid