close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Calon gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (kiri) berswafoto dengan mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (kanan). /Foto Instagram @dedimulyadi71
icon caption
Calon gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (kiri) berswafoto dengan mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (kanan). /Foto Instagram @dedimulyadi71
Politik
Senin, 02 Juni 2025 13:10

Jabar di tangan KDM: Episentrum politik baru?

Tingkat kepuasan publik terhadap Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mencapai 94,7%.
swipe

Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi muncul sebagai gubernur yang paling memuaskan kinerjanya di Jawa. Hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis beberapa waktu lalu menemukan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Dedi mencapai 94,7%. 

Dedi mengungguli Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan raihan 83,8% dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dengan tingkat kepuasan publik sebesar 75,3%. Berada di urutan ke-5, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung hanya mengantongi tingkat kepuasan publik sebesar 60%. 

Peneliti utama Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi merinci sejumlah faktor yang bikin tingkat kepuasan publik terhadap Dedi sangat tinggi. Pertama, Dedi rajin turun langsung ke masyarakat. Kedua, Dedi piawai menggunakan media sosial. 

“Followers beliau di Facebook mencapai 12 juta, di YouTube lebih dari 7 juta, dan di Instagram 3,5 juta sehingga program-programnya mudah tersosialisasi ke masyarakat,” kata Burhanuddin saat memaparkan hasil survei di kantornya di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (28/5) lalu. 

Dedi, lanjut Burhanuddin, sukses membetot perhatian publik ke Jawa Barat. Itu terlihat dari popularitas Dedi yang jauh melampaui Pramono. Lazimnya, penguasa ibu kota selalu lebih populer ketimbang kepala daerah-kepala daerah lainnya. 

Sayangnya, popularitas dan tingkat kepuasan publik terhadap Dedi tak sejalan dengan kinerja Pemprov Jabar. Soal kemiskinan, misalnya, hanya 42% masyarakat Jabar yang puas dengan kinerja pemerintah daerah. Begitu pula terkait permodalan dan pembiayaan koperasi. 

"Peningkatan kualitas tenaga kerja 47%... Ternyata juga cukup banyak (publik yang kecewa). Bahkan, angkanya lebih banyak dari Jakarta. Padahal, kita lihat kepuasan terhadap kinerja gubernur mencolok, Pak Dedi Mulyadi ini," kata Burhanuddin. 

Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro menilai popularitas Dedi meroket dalam beberapa bulan belakangan karena intens bermedia sosial. Namun demikian, ia meyakini Jabar tak akan menggantikan Jakarta sebagai episentrum politik nasional. 

"Jakarta tetap epicentrum politik. Di Jakarta, ada kekuatan politik Istana yang jadi simbol kekuasaan. Kemudian, kekuatan politik Teuku Umar, simbol (Ketua Umum PDI-Perjuangan) Megawati," kata Agung kepada Alinea.id, Sabtu (30/5). 

Jika ukurannya aktivitas di media sosial, menurut Agung, Dedi tak punya lawan sepadan. Meski Jabar jadi populer di medsos gara-gara Dedi, Agung meyakini Jabar belum bisa menggantikan Jakarta sebagai batu loncatan menuju pentas politik nasional. 

Di lain sisi, Pramono cenderung lebih berhati-hati saat bermain media sosial. "Pramono itu dalam bekerja terlihat silence (diam) di media sosial. Tetapi, dia bergerilya dalam bekerja dan efektif," kata Agung. 

Analis politik dari Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) Ahmad Chumaedy menilai aktivitas Dedi Mulyadi di media sosial memang memberi dampak besar terhadap visibilias Jawa Barat di mata publik nasional. Namun, bukan hanya personal branding Dedi saja yang membetot perhatian publik ke Jabar. 

Perubahan dinamika politik di tingkat pusat juga turut berpengaruh. Jakarta saat ini berada dalam masa transisi setelah ibu kota negara pindah ke IKN. Situasi ini menyebabkan ruang gerak politik dan manuver kepala daerah DKI menjadi lebih terbatas dibanding masa-masa sebelumnya.   

"Figur seperti KDM berhasil memanfaatkan media sosial bukan hanya untuk membangun citra, tapi juga untuk membangun narasi yang dekat dengan masyarakat. Ini menciptakan efek kedekatan emosional dengan publik luas, termasuk di luar Jawa Barat," kata pria yang disapa Memed kepada Alinea.id, Jumat (29/5). 

Publik, kata Memed, cenderung lebih memperhatikan pemimpin yang komunikatif, responsif, dan dekat dengan rakyat. Model figur yang doyan menampilkan diri di media sosial seperti KDM dan Ridwan Kamil lebih disorot ketimbang figur-figur administratif yang lebih senyap secara digital.

"Pramono Anung, beliau memang lebih dikenal sebagai tokoh yang bekerja di balik layar dengan pendekatan yang sangat teknokratis. Jadi, kurangnya eksposur di media sosial bukan berarti perannya tidak signifikan, tapi memang pendekatannya berbeda," kata Memed.


 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan