sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kecelakaan politik, kegagalan partai, dan calon tunggal

Polarisasi pencalonan presiden pada dua figur bahkan satu figur dikhawatirkan mengurangi keragaman dalam agenda demokrasi mendatang.

Robi Ardianto
Robi Ardianto Jumat, 09 Mar 2018 20:47 WIB
Kecelakaan politik, kegagalan partai, dan calon tunggal

Setelah melewati masa yang panjang, mulai dari pendaftaran sebagai calon peserta, tahap verifikasi, akhirnya beberapa waktu lalu Komisi Pemilhan Umum (KPU) meloloskan 14 partai peserta pemilu. Ditambah dengan Partai Bulan Bintang (PBB) yang akhirnya diloloskan Bawaslu dalam sidang ajudikasi.

Berdasarkan catatan Alinea, dari 15 parpol tersebut, hanya 10 partai yang memiliki kursi di DPR RI, lewat pemilu legislatif 2014. Lalu 4 parpol merupakan pemain baru, sedang PBB tak mendapatkan kursi di kontestasi politik sebelumnya.

Merujuk pada Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017, dan dikuatkan Putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017 tentang ambang batas presiden, maka sejumlah partai wajib berkoalisi untuk mengusung calon presiden. Sebab aturan ambang batas mengharuskan perolehan kursi minimal 20% atau 25% dari suara sah nasional.

Dari perolehan suara di pemilu 2014, sebetulnya ada potensi kemunculan sejumlah pasangan calon (paslon). Namun kecenderungan arah koalisi yang condong ke Jokowi, mengikis keragaman pencalonan tersebut.

Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, seandainya PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, PKB, Hanura, bahkan PPP menyatakan dukungannya ke Jokowi, maka peluang koalisi hanya tersisa Gerindra, PAN, dan PKS yang hanya bisa mencalonkan satu paslon. Sementara Partai Demokrat harus memilih bergabung dengan salah satu kubu atau malah menjadi penengah.

Namun jika semua partai, kecuali Gerindra memilih mendukung Jokowi, maka Prabowo tak punya pilihan selain merapat ke presiden petahana itu. Sebab dalam perhelatan demokrasi 2014, Gerindra hanya mengantongi suara sebanyak 11,83% atau sejumlah 73 kursi DPR. Jika itu terjadi, maka Jokowi akan melawan kotak kosong.

Aksi borong dukungan

“Kemunculan calon tunggal tidak didesain sejak awal melalui aksi borong dukungan,” ungkap Veri. Dalam pasal 229 ayat (2) UU Pemilu dijelaskan, KPU harus menolak pendaftaran paslon yang mengindikasikan adanya upaya memborong dukungan sehingga memunculkan calon tunggal.

Sponsored

Berdasarkan ketentuan tersebut, KPU harus menolak pendaftaran calon jika:

a. pendaftaran satu paslon diajukan oleh gabungan dari seluruh parpol peserta pemilu; atau

b. pendaftaran satu paslon diajukan oleh gabungan parpol peserta pemilu yang mengakibatkan gabungan parpol peserta pemilu lainnya tidak dapat mendaftarkan paslon.

Namun aturan tersebut tidak memberikan jalan keluar yang jelas, jika setelah penolakan berkali-kali oleh KPU, partai koalisi tetap solid dan tidak mau mengubah dukungan, sehingga hanya tersisa calon tunggal di pilpres 2019.

Apalagi, pilpres memiliki batas waktu, sehingga tidak akan dibiarkan adanya kekosongan kekuasaan, karena belum terpilihnya presiden pada 20 Oktober 2019. "Meskipun, secara politik sangat mungkin muncul solusi alternatif, agar pemilihan tetap berlangsung yaitu dengan cara memaksakan munculnya calon bayangan atau boneka," katanya.

Selain itu, adanya larangan bagi parpol atau gabungan parpol yang memenuhi syarat mengajukan paslon, namun tidak mencalonkan presiden dan wakil presiden, yang tertuang dalam pasal 235 ayat (5).

Dia mencontohkan, untuk mengakali kebuntuan larangan borong dukungan, sesuai pasal 229 ayat (2), maka Gerindra dan PKS mestinya berkolaborasi mencalonkan satu paslon.

Potensi calon tunggal terjadi juga karena beberapa skenario. Pertama, jika, ada dua paslon yang mendaftar, namun salah satu paslon yang diusulkan tidak memenuhi persyaratan. Lalu, diusulkan paslon pengganti dalam 14 hari. Tahapan itu terhenti ketika paslon pengganti tetap tak memenuhi syarat.

Kedua, ada dua paslon yang mendaftar, namun salah satu paslon berhalangan tetap, baik capresnya atau wacapresnya dalam tujuh hari sebelum penetapan paslon. Maka, mereka tak bisa mengusulkan kembali paslon pengganti seperti yang tertuang dalam pasal 234 ayat (1) UU Pemilu.

Ketiga, setelah diberikan perpanjangan jadwal pendaftaran selama 2x7 hari, ternyata hanya ada satu paslon yang mendaftar, sesuai dengan pasal 235 ayat (4) UU Pemilu.

Berdasarkan tiga hal tersebut, maka kemungkinan-kemungkinan terjadinya calon tunggal tidak bisa dihindarkan.

Kecelakaan Politik

Hitungan politik memang berbeda dengan hitungan matematika, sehingga masih sangat berpeluang jika hanya memunculkan satu calon saja. Apalagi melihat kecondongan partai koalisi dan partai baru yang sudah mendeklarasikan dukungannya pada Jokowi.

Sekjen Komite Independen Penyelenggara Pemilu (KIPP) Kaka Suminta mengatakan, jika hanya ada satu paslon pada pilpres, maka akan menyisakan sejumlah catatan.

Pertama, ini merupakan sebuah kecelakaan politik, jika hanya ada satu pasangan di pilpres. Sungguh disayangkan, di sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk lebih dari 250 juta orang, namun tak ada alternatif pilihan dalam pemilu. "Sehingga kita perlu menghindari hal ini terjadi, dan KIPP mengadvokasi agar hal ini tak terjadi," jelasnya pada Alinea.

Kedua, jika hal ini terjadi, berarti menggambarkan kegagalan parpol untuk melahirkan kader dalam sirkulasi kepemimpinan nasional, karena merupakan kondisi yang diperlukan oleh sistem kepartaian kita.

Seyogyanya, lanjutnya, selain pengkaderan, parpol juga memiliki ideologi maka dengan hanya terdapat calon tunggal, parpol tak ubahnya wadah organisasi dengan warna yang sama. Artinya partai politik yang demikian seharusnya dilikuidasi, karena gagal melakukan fungsinya.

Ketiga, berkenaan dengan berlangsungnya demokrasi, akan menghadirkan suasana hegemoni. dalam analisis wacana ini merupakan penguatan hegemoni wacana sekelompok orang yang sangat buruk dalam sebuah negara sebesar Indonesia. Dengan kata lain, tak ada alternatif ideologi dan kebijakan, sementara itu kenyataanya kita memiliki keanekaragaman dalam berbagai hal.

Terakhir, jika tidak terakomodirnya berbagai alternatif wacana dan pemikiran, serta minat di masyarakat, maka akan melahirkan perlawanan yang cukup besar. "Maka dari itu KIPP tidak hanya akan mengadvokasi capres lebih dari satu, bahkan juga perlu mendorong untuk menghadirkan calon alternatif di luar wacana calon yang sudah ada," katanya.

Kaka menegaskan, harus ada calon alternatif lainnya, yang muncul agar lebih banyak pilihan dan memperkaya wacana perdebatan.

Berita Lainnya
×
tekid