Calon pahlawan nasional tahun 2025 sudah dibahas Kementerian Sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) pada Maret 2025. Sepuluh tokoh yang diusulkan, antara lain Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Bisri Sansuri, Idris bin Salim Al-Jufri, Teuku, Abdul Hamid Azwar, Abbas Abdul Jamil, Anak Agung Gede Anom Mudita, Deman Tende, Midian Sirait, Yusuf Hasim, dan Soeharto.
Ada pula delapan tokoh yang disetujui Dewan Gelar pada 2024 yang diajukan kembali, antara lain Andi Makasau, Bambang Sugeng, Rahma El Yunusiah, Frans Seda, Muhammad Sroedji, AM Sangaji, Rd. Soerjadi Soerjadarma, dan Sultan Muhammad Salahuddin.
Dari nama-nama tokoh tersebut, nama mantan presiden ke-2 Indonesia, Soeharto paling menjadi sorotan. Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf mengatakan, semua nama calon pahlawan nasional punya peluang yang sama, termasuk Soeharto. Sebab, syarat-syarat normatifnya semua sudah terpenuhi.
Pengusulan nama Soeharto dalam daftar calon pahlawan nasional tahun ini sudah memenuhi syarat normatif, kata Saifullah, karena MPR sudah resmi mencabut nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
“Pak Harto (Soeharto) itu sudah berulang-ulang diusulkan, tapi masih ada kendala. Sekarang salah satu kendalanya itu kemarin soal TAP MPR-nya sudah dicabut,” kata Saifullah di Jakarta Selatan, Rabu (23/4), seperti dikutip dari Antara.
Akan tetapi, catatan kelam pelangaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu serta praktik KKN lekat dengan nama Soeharto saat dahulu memimpin negara.
“Jika Soeharto dijadikan pahlawan nasional sama saja melukai hati rakyat Indonesia karena yang bersangkutan adalah pemimpin yang berkuasa selama lebih 30 tahun, yang memerintah dengan otoriter. Kekuasaannya berdarah dan telah menghancurkan demokrasi,” ujar Sekjen Partai Rakyat Demokratik (PRD) periode 1996-2022 Petrus Hariyanto kepada Alinea.id, Sabtu (26/4).
Petrus mengatakan, kekuasaan Orde Baru yang ditopang dwifungsi ABRI telah menancapkan sebauh sistem yang menghancurkan kedaulatan rakyat. Soeharto pun, kata dia, telah melakukan korupsi dan memperkaya keluarganya serta para kroninya.
“Jika benar nantinya diangkat menjadi pahlawan nasional, keputusan ini telah melukai hati para aktivis yang telah menjatuhkan dia dan menginginkan ada perubahan politik yang demokratis,” kata Petrus.
Secara pribadi, Petrus juga mengonsolidasi publik untuk mendesak pemerintah membatalkan rencana menjadikan Soeharto menerima gelar pahlawan nasional.
“Upaya ini sekaligus bagian dari perlawanan kepada rezim Prabowo yang ingin mengembalikan sistem ala Orba,” tutur Petrus.
Sementara itu, Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi menilai, pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto problematik. Alasannya, secara yuridis berdasakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Jasa, dan Tanda Kehormatan, ada syarat umum dan syarat khusus untuk mendapatkan gelar.
Dalam pasal 25 undang-undang itu disebutkan syarat umum, antara lain WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi NKRI, memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara, serta tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun.
“Mengacu pada syarat umum poin empat, Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional karena berbagai pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi pada masa pemerintahannya yang otoriter dan militeristik, belum pernah diuji melalui proses peradilan,” ucap Hendardi, Jumat (25/4).
“Belum lagi soal KKN yang dilakukan oleh keluarga dan elite inti di sekitarnya. Akumulasi persoalan itu yang secara objektif menjadi penyebab utama Soeharto dilengserkan oleh gerakan reformasi 1998. Pendek kata, Soeharto tidak memenuhi syarat umum berkelakuan baik.”
Hendardi melanjutkan, ketiadaan klarifikasi politik yang memadai dan ketidakmungkinan putusan pengadilan mengenai kejahatan yang dilakukan pemerintahan Soeharto, menjadi penegas bahwa pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto menjadi tidak relevan.
“Selain itu, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bermasalah secara sosial-politik. Dari sisi politik, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto akan menjadi simbol dan penegas bagi kebangkitan Orde Baru,” kata Hendardi.
“Glorifikasi Soeharto dengan memberinya gelar pahlawan nasional akan mendeligitimasi reformasi sebagai gerakan politik untuk melawan otoritarianisme dan menegakkan supremasi sipil pada 1998.”