Wacana menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto kembali menyeruak di era pemerintahan Prabowo-Gibran. Kali ini, usulan itu disampaikan DPP Satkar Ulama Indonesia, salah satu sayap Partai Golkar. Menteri Sosial Saifullah Yusuf alias Gus Ipul mengaku sedang mengkaji usulan itu.
"Kami sudah menyampaikan secara resmi ke DPP Partai Golkar sebagai induk dari organisasi Satkar Ulama agar mantan Presiden Soeharto diperjuangkan menjadi pahlawan nasional," kata Ketua Umum Satkar Ulama Idris Laena dalam keterangan pers, Minggu (20/4).
Wacana menganugerahkan gelar pahlawan nasional sempat mengemuka di pengujung era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, rencana itu gagal setelah mendapat penolakan masif dari berbagai kalangan, terutama dari para aktivis hak asasi manusia (HAM).
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid mengatakan sikap Amnesty dan kawan-kawan masih sama. Ia menegaskan tak ada landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis yang jelas untuk memberi gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Soeharto, kata dia, adalah orang yang paling bertanggung jawab atas rusaknya demokrasi Indonesia.
"Soeharto jelas juga bertanggung jawab atas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Soeharto juga bertanggung jawab atas berbagai kekerasan negara sejak 65 sampai 98," kata Usman kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Hingga tutup usia, menurut Usman, Soeharto masih menyandang status tersangka dalam berbagai kasus korupsi dan pelanggaran HAM berat. Setelah Orde Baru tumbang, rezim Soeharto terutama dikaitkan dengan beragam kasus korupsi yang membelit yayasan-yayasan yang didirikan dan dikelola keluarga Cendana.
"Soeharto juga yang membuat ekonomi Indonesia bergantung pada investasi asing sehingga melemahkan daya tawar buruh. Tanah pun dibuat murah. Bahkan, ekonomi agraria Indonesia tersingkir oleh pembangunan yang lebih fokus pada industri ekstraktif. Sekali lagi, kami keberatan. Yang pasti itu semua akan menjadi payung pemutarbalikan sejarah," kata aktivis 98 itu.
Hal senada diutarakan dosen komunikasi politik Universitas Jember, Muhammad Iqbal. Jika direalisasikan, menurut Iqbal, penganugerahan gelar pahlawan bagi Soeharto merupakan bentuk "rudapaksa" terhadap amanat reformasi.
Siasat untuk memberi gelar pahlawan nasional kepada Soeharto, lanjut Iqbal sudah tampak dari upaya segelintir legislator di Senayan yang ingin menghapus nama Suharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN pada September 2024.
"Itu saja sudah merupakan bukti penghianatan amanat reformasi. Para kroni dan kaki tangan Soeharto pasca reformasi terus tak henti menanti momentum untuk membelokkan arah dan haluan amanat reformasi," kata Iqbal kepada Alinea.id, Senin (21/4).
Pasal 4 TAP MPR 11 Tahun 1998, kata Iqbal, jelas menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta dan konglomerat.
"Semua rangkaian manuver politik mulai dari gagal dan tidak tuntasnya amanat megadili Soeharto; penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR 11/1998, hingga pengusulan gelar pahlawan nasional sejatinya adalah bentuk hidden ambition atau ambisi terselubung dari kroni Soeharto dan memperoleh momentum di masa rezim Prabowo, sang menantu Soeharto," kata Iqbal.
Iqbal berharap kelompok masyarakat sipil dan mahasiswa memprotes keras rencana menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Ia khawatir gelar pahlawan Soeharto dijadikan "pintu masuk" untuk menghapus rekam jejak kelam Prabowo dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
"Masyarakat sipil sudah semestinya semakin terkonsolidasi kesadaran kolektifnya untuk tetap menolak dan melawan usulan pemberian gelar pahlawan nasional bagi Soeharto. Kita mesti tetap istiqomah melawan segala upaya pembelokan dan penghapusan sejarah kelam kejahatan dan pelanggaran HAM berat di masa Orde Baru dan Reformasi," kata dia.