sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ketika eks tapol 'ekstrem kanan' dan 'ekstrem lain-lainnya' reuni di Ciamis

Ammarsjah mengatakan bahwa saat itu Orde Baru memang menggunakan label ‘anti-pancasila’ untuk memberangus, terutama kelompok-kelompok Islam.

Fitra Iskandar
Fitra Iskandar Kamis, 01 Jun 2023 16:51 WIB
Ketika eks tapol 'ekstrem kanan' dan 'ekstrem lain-lainnya' reuni di Ciamis

Haji Oni duduk santai. Ia ikut lesehan di antara puluhan relawan Ganjar Pranowo yang duduk melingkar. Di hadapannya, anggota DPRD Ciamis Jawa Barat dari PDIP Sarif Sutiarsa menguasai mikrofon. Sarif memberi kata sambutan dalam acara peresmian Posko Bersama Relawan Ganjar di Ciamis yang digelar Sabtu sore pada 7 Mei itu.

Dalam sambutan, Sarif mendorong para relawan yang hadir untuk memperjuangkan nasionalisme. Tak ketinggalan ia mengulas singkat soal sejarah. Sarif menyebut-nyebut nama Kahar Muzakkar, pendiri Tentara Islam Indonesia yang bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) Kartosuwiryo pada 1952. Dengan nada tinggi, ia berbicara tentang bahayanya gerakan-gerakan politik, yang menurutnya, memanfaatkan kedok agama.

Haji Oni bergeming. Ia menyimak ucapan Sarif.

Haji Oni adalah eks tahanan politik era Orde Baru. Saat dijebloskan ke penjara pada 1982, ia merupakan pengawal Presiden Negara Islam Indonesia (NII) Adah Jaelani yang melanjutkan kepemimpinan NII sejak 1978 hingga 1987. Oleh Orde Baru, Haji Oni dianggap berbahaya bagi negara. Ia dituduh anti-pancasila dan diseret ke pengadilan dengan pasal subversi. Akibatnya, ia divonis 20 tahun penjara.

Namun, Sarif tidak mengenal Haji Oni, begitu juga sebaliknya.

Di forum itu, selain Sarif, Koordinator Dewan Pengarah Komunitas Alumni Perguruan Tinggi (KAPT) Ammarsjah juga didapuk untuk memberikan kata sambutan. Pidatonya singkat. Di antara yang disampaikan, ia berharap para relawan bersatu padu dalam memenangkan Ganjar dalam Pilpres 2024. Ia juga mengingatkan para relawan untuk menjauhi kampanye politik yang memecah belah masyarakat seperti yang terjadi pada Pilpres 2019.

Setelah dua sambutan itu, acara juga diisi dengan diskusi yang membedah peta politik di Ciamis dengan referensi hasil Pemilu dan Pilpres 2019. Lalu dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng. Acara yang diinisiasi KAPT dan Sobat Hijau Ganjar itu ditutup dengan sesi foto bersama. Haji Oni ikut berpose. Di depannya, anak-anak muda dengan setengah duduk membentangkan bendera bergambar wajah Ganjar Pranowo.

Haji Oni menjadi pendukung Ganjar?

Sponsored

Haji Oni yang bernama lengkap Oni Gustam Effendi itu kini dikenal sebagai pendiri Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pusat.

MMI merupakan organisasi kemasyarakatan yang berpusat di Kabupaten Tasikmalaya. Aggotanya tersebar di berbagai kabupaten/kota di Jawa Barat seperti Garut, Purwakarta, Majalengka, Ciamis, Cirebon, Subang, Pangandaran, Sukabumi dan Cianjur. Menurut Haji Oni, MMI sekarang banyak bergerak dibidang kemanusiaan dan pemberdayaan masyarakat khususnya pertanian. Di MMI, Haji Oni kini menjabat sebagai ketua dewan pembina.

Saat masih mendampingi Presiden NII Adah Jaelani di era 80-an, Haji Oni muda akrab dengan senjata api. Kemana-mana ia bawa pistol karena tugasnya sebagai pengawal orang nomor satu di NII itu. Namun, kini beda cerita.

"MMI bawanya cangkul, bawa ternak, ikan dan bawa produk hasil olahan,” jelas Haji Oni yang sore itu mengenakan kemeja bergaris dan celana bahan abu-abu.

Selain di MMI, Haji Oni juga aktif di Yayasan Assatariyyah Jati/Majelis Ta’lim Darul Ilmi, Tasikmalaya.

Haji Oni menjual hewan qurban yang dikelola Yayasan Assatariyyah Jati Rajapolah, Tasikmalaya. Foto: Dok Pribadi

Haji Oni sendiri adalah sahabat Ammarsjah. Akhir pekan itu, sebelum ia ikut nimbrung di Posko Bersama Relawan Ganjar di Jl. Ir H Juanda No 27 Ciamis, Ammarsjah melipir ke rumahnya di Jl Raya Rajapolah Tasikmalaya. Karena waktu yang sempit tapi masih ingin kangen-kangenan, Ammar mengajaknya ikut serta ke acara persemian posko itu. Haji Oni oke-oke saja. Tidak ada rasa canggung.

Keduanya memang kawan lama. Mereka saling kenal sejak sama-sama menjadi tahanan politik di Penjara Sukamiskin pada tahun 1990.

Ammarsjah sendiri pernah dijebloskan ke penjara karena aksi-aksi protes terhadap rezim Soeharto yang dilakukannya pada 5 Agustus 1989 di kampusnya, Institut Teknologi Bandung (ITB). Ketika itu, ia dan kawan-kawannya menggelar demonstrasi menyambut kedatangan Menteri Dalam Negeri Rudini ke ITB. Salah satu bunyi tulisan di spanduk yang dibawa mahasiswa lumayan sangar untuk zaman itu. Bunyinya, “Ganyang Rudini si Antek Rezim Penindas.” Suasana juga makin panas karena Ammarsjah cs melakukan aksi bakar ban.

Ammarsjah dan para aktivis mahasiswa ketika itu juga sudah menyuarakan tuntutan agar Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden.

Aksi 5 Agustus itu membuat penguasa Orde Baru marah terhadap Ammarsjah Cs. 11 mahasiswa ditangkap. Enam diproses hingga ke pengadilan dan kemudian dijebloskan ke penjara. Ammarsjah yang saat itu adalah Presiden KMP ITB dibui Bersama lima mahasiswa lainnya. Mereka adalah Fadroel Rachman, Enin Supriyanto, Arnold Purba (alm), Moh Jumhur Hidayat, dan Bambang SLN.

“5 Agustus aksi, tanggal 18 saya ditangkap. Tiga hari kemudian dipindah ke Sumatera 37 (Mako Deninteldam III/Siliwangi) ya tempat Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah). Kemudian dipindah ke Kodim karena Sumatera 37 menampung tahanan kasus bom Borobudur,” kisah Ammarsjah.

Ketika itu, oleh Orde Baru, Ammarsjah Cs digolongkan ke dalam kelompok ‘ekstrem lain-lainnya’, sementara Haji Oni adalah tahanan yang digolongkan ‘ekstrem kanan’.

“Jadi kategorinya ini kalau Kang Oni ini dianggap ekstrem kanan ya. Kalau kami-kami ini dianggap ekstrem lain-lainnya, agak bingung juga sebenarnya. Dibilang kiri bukan, dibilang kanan bukan. Jadi mereka terjemahkan sebagai ekstrem tengah atau ekstrem lain-lainnya. Bahasa militernya itu.”

“Orde Baru itu mengkategorikan yang melawan negara itu atas 3 kelompok: ekstrem kanan, ekstrim kiri, dan ekstrem tengah atau ekstrem lain-lainnya. Kiri itu dianggap PKI lah ya. Kanan itu dari gerakan Islam. Kami di dalam penjara ada semua itu. Ada yang kirinya, ada yang kanannya,” kisah Ammarsjah.

Ammarsjah sempat mendekam di LP Kebon Waru, kemudian dikirim ke Nusakambangan. Setelah itu dikembalikan ke Bandung, namun bukan ke LP Kebonwaru, melainkan LP Sukamiskin. Di Sukamiskin inilah aktivis mahasiswa 80-an itu bertemu dengan sejumlah tahanan PKI dan tahanan ekstrem kanan seperti kasus penyerangan pos polisi Cicendo (1981), pembajakan pesawat Woyla (1981), dan bom Borobudur (1985). Ada juga tahanan kasus peristiwa Tanjung Priok (1984). ”Lengkap,” ujar Ammarsjah.

 

Enam Mahasiswa ITB yang ditahan di LP Kebonwaru, Bandung, terkait Aksi 5 Agustus 1989. Dari kiri ke kanan: Moh. Jumhur Hidayat, M.Fadjroel Rachman, Arnold Purba (alm), Enin Supriyanto, Bambang SLN dan Ammarsjah. (Foto: Koleksi KPM ITB)

Haji Oni sendiri membantah tuduhan Orde Baru bahwa dirinya adalah ekstrem kanan yang ingin mengganti Pancasila. Ia mengaku hanya mengoreksi penafsirannya yang dianggap hanya sesuai kepentingan penguasa pada saat itu. “Tapi karena kita statusnya tahanan, ya dipaksa. Tuduhnya tetap anti Pancasila. Padahal enggak pernah. Begitu sebetulnya,” terang Haji Oni.

Ia juga heran kenapa diringkus karena sebelum penangkapan itu pun, Haji Oni dan teman-temannya yang lain masih dalam pembinaan ABRI setelah pada 1971, Orde Baru memberi amnesti pada ribuan mantan NII (DI/TII). Sebagian bahkan diberi pekerjaan di Kodam (khususnya Siliwangi). Sebagian diajari berwirausaha. Semua di bawah kendali Komandan Divisi Opsus Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN, sekarang BIN), Kolonel Ali Moertopo.

“Waktu itu juga pernah kok lihat Bapak (Presiden NII Adah Jaelani) disuruh tanda tangan dukung Golkar. Haji Danu ( Danu Muhammad Hasan ayah alm mantan Dewan Syuro PKS, Hilmi Aminuddin) kemana-mana sama Ali Moertopo. Banyak mantan DI/TII juga binaan Ali Moertopo. Tapi kok ditangkap? Aneh,” ungkap Haji Oni.

Ammarsjah mengatakan bahwa saat itu Orde Baru memang menggunakan label ‘anti-pancasila’ untuk memberangus, terutama kelompok-kelompok Islam, yang melawan kekuasaan.

“Kang Oni ini juga ada di Lampung dulu. Nah di Lampung tuh banyak sekali orang yang dituduh sebagai bagian dari Warman Cs (Komando Jihad) ya. Padahal sebenarnya kasusnya perebutan tanah. Aslinya masalah tanah saja sebetulnya.”

“Jadi sering sekali sebenarnya label ekstrem kanan atau kiri Itu dipakai oleh pemerintah kepada kelompok atau orang yang dianggap mengganggu proyek-proyek pemerintah, dalam tanda petik lah ya. Kalau zaman dulu kan pemerintah punya mau, ya proyek harus jalan. Pemerintah enggak peduli kondisi sosial politiknya. Ya berapa pun harganya diambil.”

“Nah, ideologi pembangunan yang dibangun oleh Soeharto ini kan bukan cuman sekedar pembangunan buat negara. Tapi pembangunan buat kroni-kroninya. Banyak sekali misalnya awalnya pengambilan tanah untuk kepentingan-kepentingan umum, tapi yang diambil untuk kepentingan umumnya 10, yang diambil untuk kepentingan pribadinya 90. Gitu loh kira-kira. Kalau di Garut ini gitu ya. Tanah rakyat diambil untuk perkebunan. Padahal itu tanah turun-temurun dari nenek moyang warga. Ya akhirnya yang melawan kalau enggak dituduh ekstrem kiri, ya ekstrem kanan,” papar Ammarsjah.

Label ekstrem kanan itu lah yang membawa konsekuensi berat bagi Haji Oni dan tahanan ekstrem kanan lainnya. Mereka harus menjalani hukuman belasan sampai puluhan tahun. Bahkan ada yang dijatuhi hukuman mati. Sementara Ammarsjah Cs menjalani masa kurungan hitungan di bawah lima tahun. Perbedaannya, kata Ammarsjah, para mahasiswa hanya dianggap berbahaya bagi kekuasaan, sementara Haji Oni cs adalah golongan yang berbahaya bagi negara. Yang dianggap melawan negara, hukumannya lebih berat.

Tahanan ekstrem kiri 11-12 dengan nasib tahanan ekstrem kanan. Seorang pengurus Barisan Tani Indonesia (organ underbow PKI), bernama Darso, mungkin salah satu yang paling sial, cerita Haji Oni. Orde Baru benar-benar seenaknya mengangkangi hak asasinya sebagai manusia. “Bayangkan perpanjangan masa tahanannya satu tumpuk sampai 16 tahun. Padahal dia kondisinya (diputus hukuman) 10 tahun. Jadi dia dipenjara 26 tahun,” kata Haji Oni tertawa miris.

Ekstrem kanan, kiri, tengah (lain-lainnya) ngariung di penjara

Di dalam penjara, meski para tahanan politik itu berlatar belakang ekstrem kiri, ekstrem kanan, atau ekstrem lain-lainnya, namun sesama tahanan saling berinteraksi. “Yang dicap kanan, kiri, tengah, kita ngariung (ngumpul),” kata Haji Oni yang murah senyum itu.

“Walaupun awal-awal ada kecurigaan. Ya Namanya juga tak kenal maka tak sayang. Tapi kan pada akhirnya kita sadar, kita berada di sini (penjara) penyebabnya satu orang, satu kelompok. Orde Baru dan antek-anteknya. Kita dihukum karena melawan Soeharto, mereka dihukum karena melawan Soeharto. Kami akur,” sambung Ammarsjah.

Ada keuntungan berstatus tahanan politik, kata Haji Oni. Ia mengungkapkan tahanan politik memiliki sejumlah privilege tertentu yang membuat mereka bisa lebih longgar berinteraksi satu sama lain.

Ammarsjah pun bercerita bahwa saat pertama masuk ke penjara, tahanan politik lain termasuk Oni cs, menyambutnya. Tidak ada yang memandang sinis. Hanya soal sinis, Ammarsjah punya kenangan dengan Azhar Zulkarnain (Jemaah Imron, tahanan kasus Cicendo).

“Aku pernah disinisin sama Bang Azhar karena satu hal. Dia bilang, ‘kesalahan kalian terbesar adalah membuat pledoi tanpa bismillah’, Tapi itu bukan sinis dalam artian bagaimana gitu ya, hanya sebagai orang yang punya keyakinan, dan dia mengatakan itu dalam konteks menasihati, bukan memarahi kami atau membenci kami,” tutur Ammarsjah. “Kira-kira Bang Azhar itu mau bilang, ‘kalau mau ini (melawan), bersihkanlah perjuangan kalian’. Gitu kira-kira ya.”

Menurut Ammarsjah, sesama tahanan politik ketika itu memang akur. Bahkan setiap Rabu, ia tandang ke kamar Adah Jaelani (Presiden NII), yang juga ditahan di Sukamiskin. Mereka berdiskusi, bertukar pikiran.

“Saya sendiri secara pribadi setiap Rabu diundang sama Presiden NII Adah Jaelani. Kita makan siang. Tapi kan orang politik mana ada yang cuma makan siang? Pasti kan ngobrol politik. Dia berusaha menjelaskan cita-cita perjuangannya, saya berusaha menjelaskan juga cita-cita perjuangan saya. Tapi kita enggak mesti harus bersepakat.”

Ganjar dan Anies

Soal prinsip atau metode perjuangan bisa tidak bersepakat, tetapi perkawanan tetap terjaga. Ammarsjahdan Oni sudah terbiasa dengan perbedaan pilihan. Bagi keduanya, itu hal biasa. Kehadiran di Posko Bersama Ganjar, bagi Haji Oni juga bukan berarti apa-apa, selain hanya beranjangsana, menghabiskan waktu bersama kawan lamanya. Maklum, Ammarsjah pun tidak punya banyak waktu di Ciamis. Setelah acara pembukaan posko bersama relawan Ganjar selesai, ia segera Kembali ke Jakarta.

“Saya kan tadi waktu baru bertemu sama Kang Oni, juga bilang ‘Kang Oni mungkin pilihan kita bisa beda-beda, tapi perkawanan kan selamanya’,” kata Ammarsjah.

Haji Oni mengamini. “Istilahnya kutub utara, kutub selatan, tetapi bisa bareng. Orang pasti aneh kan. Saling memahami saja kita itu, dan itu bisa dipelihara puluhan tahun,” timpal dia.

Ucapannya Ammarsjah dan Haji Oni yang terakhir ini, ada hubungannya dengan pilihan politik menghadapi Pemilu 2024. Haji Oni paham dari awal, kawannya itu datang ke Ciamis dalam rangka mengonsolidasi pendukung Ganjar di kabupaten yang pada zaman kerajaan adalah pusat pemerintahan Kerajaan Galuh itu.

Sambil bergurau Ammarsjah mengaku sengaja menemui Haji Oni, sebagai wujud ‘kulonuwun’ sama yang punya wilayah. “Biar enggak diganggu juga kita, kalau main masuk-masuk saja enggak permisi, bahaya nanti,” kata Ammarsjah sambil tertawa.

“Jadi kalau saya mau maju, Kang Oni mundur dulu dua langkah, terus jalan lagi. Begitu juga sebaliknya. Jadinya kita enggak tabrakan,” seloroh Ammarsjah.

“Umpamanya itu seperti bus kota. Sesama bus jangan saling mendahului,” balas Oni terkekeh.

Kang Oni sendiri ada di bus Ganjar, atau Anies?

”Kalau Kang Oni ini kan…Anies,” senggol Ammarsjah.

Mendengar celetukan teman seperjuangannya di penjara Orde Baru itu, Haji Oni cuma bisa senyum-senyum simpul.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid