Daftar aktivis yang digulung polisi terkait demo 25-31 Agustus
Sejumlah aktivis dan mahasiswa ditangkap buntut dari gelombang unjuk rasa yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia sejak 28 Agustus 2025. Salah satu yang menyita perhatian publik ialah penangkapan terhadap Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen.
Delpedro ditangkap paksa oleh delapan personel Polda Metro Jaya di Kantor Lokataru di Jakarta Timur pada Senin malam (1/9) pukul 22.45 WIB. Polisi juga menggeledah ruang kantor Lokataru Foundation tanpa surat penggeledahan dan diduga merusak kamera CCTV kantor.
“Saat pintu kantor dibuka, sepuluh orang berbaju hitam mengaku dari Polda Metro Jaya dan langsung masuk ke kantor Lokataru," kata Muzaffar, perwakilan tim Lokataru, dalam sebuah keterangan pers kepada wartawan.
Di markas Polda Metro Jaya Delpedro lalu dijadikan tersangka dengan dijerat sejumlah pasal, yaitu Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 15, 76 H, dan 87 UU Perlindungan Anak , serta Pasal 28 ayat (3) UU ITE.
Delpedro dan Lokataru dikenal vokal dalam mengkritik aksi-aksi represif aparat dalam penanganan demonstrasi 25–31 Agustus, termasuk di antaranya menyoroti dugaan penahanan terhadap 600 massa aksi tanpa dasar hukum.
“Mereka ditangkap tanpa dasar hukum yang jelas, hanya untuk mencegah mereka menghadiri lokasi aksi. Ini bentuk pembungkaman terhadap warga yang kritis,” kata Delpedro kala itu.
Pada periode itu, Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia dibekap gelombang demonstrasi. Khusus di Jakarta, seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan tewas karena dilindas kendaraan taktis milik Brimob Polri.
Kematian Affan memicu protes susulan yang disertai kerusuhan. Kelompok warga bahkan menjarah rumah milik sejumlah anggota DPR dan pejabat negara, termasuk di antaranya rumah politikus NasDem Ahmad Sahroni, rumah anggota DPR Eko Hendro Purnomo, dan kediaman Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.
Menurut Amnesti Internasional Indonesia (AII), Delpedro bukan satu-satunya aktivis yang ditahan polisi. Pada hari yang sama, akun @gejayanmemanggil @basuara @bangsamahardika dan @pasifisstate di Instagram mengumumkan bahwa aktivis Gejayan Memanggil, Syahdan Husein, ditangkap oleh Polda Bali. Namun, Polda Bali membantah penangkapan Husein.
Selain itu, Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkapkan penangkapan disertai kekerasan terhadap dua aktivis HAM, masing-masing di Manado dan Samarinda, saat memberi pendampingan hukum untuk massa aksi demonstrasi. Polresta Samarinda memeriksa aktivis yang ditangkap hingga Selasa (2/9) dini hari sebelum membebaskannya dengan syarat.
Sebelumnya, tepatnya pada 29 Agustus 2025, Polda Metro Jaya menangkap seorang mahasiswa Universitas Riau bernama Khariq Anhar di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Khariq ditangkap terkait unggahan di media sosial yang berkaitan dengan demonstrasi massa buruh.
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengungkapkan Khariq diduga ditangkap tanpa prosedur yang sah, bahkan diduga dilakukan secara kekerasan dengan dipiting tubuhnya dan dipukul wajahnya oleh aparat Polda Metro Jaya.
AII juga menyoroti brutalitas aparat dalam penanganan aksi demonstrasi di sejumlah kampus di Bandung, Jawa Barat. Di kota itu, polisi menembakkan gas air mata ke area kampus Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas), Selasa (2/9) dini hari.
"Kami menyesalkan bertambahnya jumlah kematian terkait unjuk rasa pekan lalu, begitu pula dengan penangkapan Delpedro Marhaen di Jakarta, Khariq Anhar di Banten, Syahdan Husein di Bali dan dua pendamping hukum dari YLBHI masing-masing di Manado dan Samarinda," kata Direktur Eksekutif AII Usman Hamid.
Lebih jauh, Usman mengkritik wacana pembentukan Pamswakarsa oleh TNI. Menurut dia, gejala pengerahan pamswakarsa yang dapat mendorong konflik horizontal di masyarakat. Gagasan pamswakarsa, kata Usman, salah satunya mulai dijalankan oleh Generasi Muda FKPPI.
"Ini semua menunjukkan negara memilih pendekatan otoriter dan represif daripada demokratik dan persuasif. Tuduhan pun memakai pasal-pasal karet yang selama ini dikenal untuk membubuhkan kritik. Ini harus dihentikan. Bebaskanlah mereka," tegas Usman.
Puluhan orang hilang
Hingga kini, belum jelas jumlah aktivis, mahasiswa, dan warga sipil yang ditahan polisi terkait gelombang unjuk rasa yang melanda Indonesia selama beberapa pekan terakhir. Namun, AII mencatat setidaknya ada 10 orang tewas akibat kekerasan polisi dalam penanganan unjuk rasa.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melalui Posko Pengaduan Orang Hilang mencatat, hingga (2/9) terdapat 33 orang hilang di lima kota, yaitu Bandung, Depok, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, dan Jakarta Selatan.
Dari 33 orang hilang ini, 13 orang sudah ditemukan di Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Utara, dan Polres Metro Jakarta Timur. Selain ditahan secara rahasia, mereka mengalami penangkapan sewenang-wenang serta proses hukum yang tidak adil dan sesuai dengan prosedur.
Laporan KontraS mencakup individu yang hilang pasca-aksi demonstrasi, diduga terkait tindakan represif aparat terhadap peserta aksi. KontraS mendesak pemerintah untuk melakukan investigasi menyeluruh dan memastikan keselamatan warga yang hilang.
Dikutip dari BBC, sosiolog di Universitas Negeri Jakarta, Ubedillah Badrun mengatakan penangkapan terhadap Depedro dan kawan-kawan merupakan pola berulang yang terjadi setiap kali gelombang unjuk rasa besar pecah di Indonesia.
Ia menduga polisi tak bisa membedakan antara ekspresi berpendapat dan provokasi. "Dalam kerangka demokrasi, ini (penangkapan terhadap aktivis) ancaman penting dan berbahaya," kata Ubedillah.


