Ketika FPI dan PA 212 mendadak antikorupsi
Aksi unjuk rasa antikorupsi yang digelar FPI, PA 212 dan GNPF-Ulama ditengarai beraroma politis.
Front Pembela Islam (FPI) memenuhi janjinya. Menggandeng Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama dan Persaudaraan Alumni (PA) 212, FPI menggerakkan ribuan massa untuk menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, Jumat (21/2).
Berbeda dengan aksi-aksi sebelumnya yang bernuansa politik identitas, kali ini FPI mengangkat tema "Aksi 212 Berantas Mega Korupsi Selamatkan NKRI". Salah satu yang menjadi perhatian mereka adalah kasus suap komisioner KPU Wahyu Setiawan yang melibatkan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Harun Masiku.
Selain kasus itu, Sekretaris Umum FPI Munarman mengatakan, FPI juga menuntut pemerintah segera menuntaskan kasus megakorupsi penjualan kondensat yang merugikan negara hingga Rp35 triliun, kasus gagal bayar PT Jiwasraya dengan kerugian Rp13 triliun, dan kasus PT Asabri dengan kerugian Rp10 triliun.
"Negara ini hancur karena korupsi. Penyelenggara pemilu sudah satu tertangkap tangan KPK. Bila penyelenggaraan pemilu sudah melakukan modus yang koruptif, bagaimana mungkin menghasilkan orang baik sebagai penyelenggara negara?" kata Munarman kepada Alinea.id.
Aksi unjuk rasa itu sudah digembar-gemborkan Munarman dan rekan-rekannya sejak beberapa pekan lalu. Ketika diwacanakan, rencana itu langsung menimbulkan pro dan kontra. FPI dan kawan-kawan bahkan kerap disebut "pahlawan kesiangan."
Namun, Munarman membantahnya. Ia pun menepis tudingan aksi unjuk rasa itu sengaja dipaksakan untuk digelar di seputaran Monas dan di depan kantor Jokowi dilatarbelakangi hubungan antara Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan pemerintah pusat yang sedang memanas.
"Aksi ini enggak ada hubungannya dengan politik. Apalagi, terkait dengan konflik Anies Baswedan dengan pemerintah pusat. Enggak ada hubungannya. Dari dulu FPI sudah sangat sering turun aksi antikorupsi. Hanya mungkin media tidak tertarik untuk mengekspose aksi antikorupsi FPI," tuturnya.
Munarman menegaskan, aksi unjuk rasa itu murni inisiatif FPI dan rekan-rekannya untuk menuntut supaya para koruptor di lingkaran penguasa dibawa ke meja hijau. "Tangkap segera mereka dan penjarakan. Jangan alihkan isu korupsi dengan isu lain," imbuh dia.
Dalam surat pemberitahuan yang disampaikan ke Polda Metro Jaya, unjuk rasa hanya bakal dihadiri sekitar 2.000 orang. Namun, juru bicara PA 212 Novel Bamukmin mengklaim ada 100 ribu orang yang turun ke jalan dalam aksi unjuk rasa kali ini.
Meskipun temanya tergolong baru bagi PA 212, Novel berkilah, aksi unjuk rasa itu tidak didomplengi kepentingan politik tertentu. "Soalnya kami melihat korupsi juga musuh Islam. Jadi, itu bentuk kemungkaran yang juga harus diperangi umat Islam. Negara ini sudah darurat korupsi," ujarnya.
Novel tak memungkiri sasaran mereka dalam aksi unjuk rasa ini adalah elite-elite penguasa. Ia pun tak membantah ketika aksi tersebut dikaitkan dengan konflik antara PA 212 dan penguasa pada era Pilpres 2019.
"Penistaan agama itu didukung oleh penguasa bahkan kriminalisasi ulama dilakukan langsung oleh penguasa dan ternyata pendukung penista agama dan kriminalisasi ulama itulah sarang maling atau koruptor. Diduga kuat pemenangan dengan cara TSM (terstruktur, sistematis, dan masif) itu dengan cara merampok uang negara," ujarnya.
Pada Pilpres 2019, PA 212 merupakan kelompok massa nonparpol yang mendukung pasangan Prabowo-Sandi. Menjelang dan sesudah pemungutan suara, sejumlah pentolan PA 212 ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka dalam berbagai kasus.
FPI sedang bertransformasi?
Ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/2) lalu, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menyambut baik langkah FPI memperluas tema-tema yang diusung dalam aksi protes mereka.
"Bagus. FPI kian meluas perhatiannya. Ke depan, FPI bisa bekerja sama dengan penggiat anti korupsi lainnya. Sebab, korupsi masalah terbesar kita," ujar Mardani kepada Alinea.id.
Mardani berharap, FPI dan rekan-rekannya tak berkutat pada isu-isu agama dan identitas saja serta memperhatikan persoalan-persoalan yang menjadi perhatian publik lainnya. "Saya apresiasi pergeseran FPI," ujarnya.
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus menganggap wajar bila FPI turun ke jalan menyuarakan masalah korupsi. "Biarpun mungkin terlihat mengherankan. Tapi saat ini memang masalah korupsi sangat mencolok sekali," ucapnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2).
Guspardi belum bisa memastikan FPI bakal mengangkat tema-tema "segar" semacam itu dalam aksi-aksi berikutnya. Namun demikian, ia berharap FPI bakal meninggalkan cara-cara lama dalam beraksi. "Jadi, jangan lagi bawa isu agama, lalu melakukan patroli tempat prostitusi, operasi miras, yang sebenarnya bukan wewenangnya," ucapnya.
Pendapat berbeda diutarakan Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP Herman Herry. Menurut dia, aksi unjuk rasa FPI yang mengusung tema 'Aksi 212 Berantas Mega Korupsi Selamatkan NKRI' sarat dengan kepentingan politik.
Ia pun pesimistis aksi unjuk rasa FPI dan kawan-kawannya bakal berefek besar terhadap kinerja pemberantasan korupsi. "Penegakan hukum tidak berdasarkan tekanan publik. Sebab, kalau penegakan hukum berdasarkan tekanan publik, rusak nanti negara ini," kata Herman.
Ditanya soal aksi unjuk rasa antikorupsi FPI, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, ICW tak punya sikap khusus. "Terkait rencana ini, kami tak ingin berkomentar," ujar Kurnia.
Guru Besar Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Sukron Kamil memandang pergeseran isu yang diusung FPI merupakan pertanda organisasi besutan Rizieq Shihab ini tengah bertransformasi menjadi gerakan yang lebih politis.
"Mereka itu kan sejak peristiwa 212 makin meninggalkan fokus awal seperti, soal pelacuran dan perjudian serta miras. Sebenarnya itu (korupsi) bagian kemungkaran juga. Tapi, isu korupsi itu menarik perhatian yang tinggi dari masyarakat," ujarnya kepada Alinea.id.
Sejak Pigub DKI Jakarta pada 2017, menurut Sukron, FPI tak lagi murni sebagai organisasi sosial keagamaan. FPI, kata dia, tengah berupaya menapaki jejak PKS dengan memainkan isu-isu populis setelah mendapat panggung di kancah politik dalam beberapa tahun belakangan.
"Saya menyebutnya dengan neo-revitalisme itu dari Wahabi, lalu kemudian berubah menjadi apa yang disebut oleh Ikhwanul Muslimin, lalu menjadi PKS. Ya, PKS itu representasi dari Ikhwanul Muslimin," jelas Sukron.
Sekadar kosmetik
Lebih jauh, Sukron menilai, ada aroma balas dendam dalam gelaran aksi unjuk rasa kali ini. Ia menilai, FPI dan rekan-rekannya tengah menyasar pemerintah pusat yang belakangan rajin mengganjal kebijakan-kebijakan Anies di DKI.
"Bagi saya, nampak hubungannya. Dari FPI, PA 212 dengan kondisi Anies yang diserang mulu. Isu korupsi dianggap sebagai isu yang dapat mengkritik dan menurunkan pandangan positif terhadap rezim. Sekarang giliran mereka menyerang kekuatan politik pusat yang di belakangnya adalah PDI-P," ujarnya.
Pandangan Sukron diamini pengamat gerakan Islam, Zaki Mubarak. Menurut Zaki, isu antikorupsi yang diusung FPI merupakan salah satu upaya mengubah citra FPI sebagai kelompok fundamentalis. Namun, cara itu disebutnya sekadar kosmetik.
"Bisa jadi mereka melihat success story PKS dulu yang pada pemilu 2004 gencar mengusung tema antikorupsi dan ternyata mempunyai dampak elektoral yang signifikan," ujar Zaki.
Namun demikian, Zaki tak yakin FPI bisa mereplikasi kesuksesan PKS. Apalagi, jika aksi "dadakan" ini ada yang mensponsori. "Jika ternyata hanya bersifat sesaat, apalagi karena dorongan sponsornya, ya, tidak bermakna apa-apa," ujarnya.
Suara pesimistis juga diutarakan peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Jati. "Sebab, setiap unjuk rasa FPI, mesti ada pamrih politis," ujarnya kepada Alinea.id, Senin (17/2).
Ia pun sepakat FPI tak benar-benar murni bergerak untuk memperjuangkan penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi besar yang hingga kini masih mangkrak. Menurut dia, FPI hanya menggelar aksi demi meraup simpati publik.
"Apalagi, isu ini sangat kuat di kalangan urban, aktivis, dan anak muda. Tentu ini potensial sebagai ladang untuk menaikkan pamor organisasi," ucapnya.
Lebih jauh, Wasisto menilai absennya Rizieq Shihab juga turut memengaruhi pergeseran isu-isu yang disoroti FPI dan rekan-rekannya.
"Hal ini dikarenakan ketiadaan HRS yang senantiasa mendorong FPI untuk frontal dan konfrontatif. FPI kemudian bereformasi jadi gerakan populis berbasis isu kekinian," imbuh dia.