close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Salah satu momen aksi unjuk rasa di Nepal, September 2025. /Foto Instagram @onepieceuniversity
icon caption
Salah satu momen aksi unjuk rasa di Nepal, September 2025. /Foto Instagram @onepieceuniversity
Peristiwa
Jumat, 12 September 2025 15:00

Dari Indonesia hingga Prancis: Kenapa gen Z "memberontak"?

Kaum muda--khususnya kalangan generasi Z--berada di pusaran aksi unjuk rasa besar di Indonesia, Nepal, dan Prancis.
swipe

Gelombang unjuk rasa besar membekap sejumlah negara di dunia. Di pengujung Agustus lalu, aksi unjuk rasa disertai kericuhan pecah di Jakarta dan berbagai wilayah di Indonesia. Setidaknya ada 7 orang tewas dalam gelombang unjuk rasa yang berlangsung selama beberapa hari itu. 

Unjuk rasa disertai aksi penjarahan rumah pejabat dan anggota DPR. Para korban penjarahan, semisal politikus NasDem Ahmad Sahroni, politikus PAN Eko Hendro Purnomo atau yang akrab disapa Eko Patrio, dan eks Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. 

Venue bergeser ke Nepal. Hingga kini, gelombang unjuk rasa besar melanda negara di kawasan Asia Selatan itu. Publik--mayoritas didominasi gen Z--murka karena pemblokiran 26 aplikasi media sosial, termasuk di antaranya Facebook dan YouTube.

Di tengah gelombang protes, Perdana Menteri Nepal, K.P. Sharma Oli dan Presiden Nepal Ramchandra Paudel mengundurkan diri. Namun, publik yang marah sudah kadung membakar gedung parlemen dan menjarah rumah-rumah para pejabat di negara itu. 

"Terinspirasi oleh Indonesia, kaum muda Nepal bangkit, protes besar-besaran atas korupsi dan ketimpangan meletus, dan gedung parlemen benar-benar terbakar. Sebagai tanggapan, pemerintah melarang semua media sosial. Langkah klasik," ujar aktivis lingkungan Aalia Mauro di akun X-nya. 

Sebelum unjuk rasa besar terjadi, warganet di Nepal sedang ramai membahas nepo kids alias anak-anak pejabat tajir yang gemar flexing serta persoalan korupsi kronis di negara mereka. 

"Protes di media sosial hanya katalis. Frustasi terhadap pengelolaan negara telah lama jadi bara dalam sekam. Warga sangat-sangat marah," kata Prateek Pradhan, pemilik sebuah media independen di Nepal, seperti dikutip dari AFP. 

Sekitar 43% populasi Nepal merupakan anak muda berusia kisaran 15-40 tahun. Di antara anak-anak muda itu, sebanyak 20-22% merupakan pengangguran karena tak tersedianya lapangan pekerjaan. 

Belum reda unjuk rasa di Nepal, giliran Prancis yang dilanda gelombang protes. Bertema Block Everything, aksi unjuk rasa itu digelar memprotes kebijakan Presiden Prancis Emanuel Macron memangkas anggaran. Setidaknya ada 200 ribu orang turun ke jalan sejak Rabu (10/9) lalu. 

Bentrok antara pengunjuk rasa dan aparat keamanan pecah di berbagai titik. Di kota Paris saja, setidaknya ada 250 orang peserta aksi yang ditangkap polisi. 

"Kami lelah dengan cara Macron mengatasi situasi," kata Alex, 25 tahun, salah satu peserta aksi. Menurut dia, Macron gagal membebaskan Prancis dari jerat utang yang terus menumpuk. 

Gerakan “Block Everything” ini dibandingkan dengan pemberontakan “Rompi Kuning” (Yellow Vest) pada 2018–2019 yang dipicu pajak dan beratnya biaya hidup dan memaksa Macron membuat konsesi kebijakan bernilai miliaran euro.

Namun, sosiolog dari lembaga pemikir Jean Jaurès Foundation, Antoine Bristielle menyebut ada perbedaan generasi antara keduanya. “Dalam gerakan Rompi Kuning, kita melihat Prancis yang rentan, kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, banyak pekerja, banyak pensiunan. Sementara di sini, dari segi usia, banyak anak muda,” ujar Bristielle.

Menurut Bristielle, anak-anak muda yang terjun ke pusaran aksi saat ini punya mimpi yang sama: lebih banyak keadilan sosial, lebih sedikit ketimpangan. "Dan sistem politik yang berfungsi berbeda, lebih baik,” imbuhnya.

Baik di Indonesia, Nepal, dan Prancis, anak-anak muda dari kalangan generasi Z berada di pusaran aksi. Salah satu simbolnya ialah kehadiran bendera Jolly Roger dan topi jerami di tengah-tengah gelombang protes. Keduanya ialah ikon One Piece, manga/anime yang digemari gen Z. 

"Budaya pop menjadi jembatan antara kemarahan mereka dengan bentuk ekspresi yang bisa dipahami semua orang. Cukup angkat bendera One Piece, dan semua orang tahu: kami muak, kami melawan," jelas sosiolog Okky Madasari, seperti dikutip dari BBC.

Pengunjuk rasa gerakan Block Everything memenuhi sejumlah ruas jalan di Paris, Prancis, Rabu (10/9). /Foto Instagram @franceinsomiseu

 Karakter pemberontak 

Selain ketidakpuasan terhadap kondisi ekonomi, karakteristik gen Z sendiri menjadi "bahan bakar" gelombang unjuk rasa di berbagai belahan dunia. Meski tak bisa dipukul rata, sejumlah riset menunjukkan gen Z punya karakter pemberontak. 

Survei yang dirilis One Pol pada Januari 2024, misalnya, menunjukkan bahwa mayoritas gen Z di Amerika Serikat (AS) ingin menjalani hidup di jalan "pemberontakan". Dari 2.000 orang yang disurvei, 74% gen Z (usia 21–26 tahun) mengaku mengekspresikan jiwa pemberontaknya. Dari golongan milenial 52%, 63% Gen X, dan hanya 39% baby boomer.

Jauh dari kesan negatif, survei tersebut juga menunjukkan bahwa perilaku seperti melanggar aturan dan konvensi “standar” telah membawa perubahan positif pada kepercayaan diri kaum gen Z (70%) dan pada keyakinan/prinsip hidup mereka (57%).

Menurut peneliti Center for Advanced Study in the Behavioral Sciences (CASBS) Stanford, Roberta Katz, gen Z memang dikenal memiliki nilai-nilai unik yang membedakannya dengan generasi lain, seperti fleksibilitas, keaslian, dan kesediaan menantang norma lama — ciri-ciri yang dekat dengan apa yang kita sebut ‘jiwa pemberontak’

"Generasi Z adalah individu yang mandiri dan penggerak dirinya sendiri, namun peduli mendalam terhadap orang lain. Mereka berupaya membangun komunitas yang beragam, sangat kolaboratif dan sosial, menghargai fleksibilitas, relevansi, keaslian, serta kepemimpinan non-hierarkis," kata Katz. 

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan