APBN sampai dengan akhir Februari 2025 masih mengalami tekanan yang kuat.
Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Anis Byarwati menyebut kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai dengan akhir Februari 2025 masih mengalami tekanan yang kuat. Menurutnya, hal ini tidak lepas dari imbas kondisi ekonomi yang terjadi pada bulan Januari.
“Beberapa terkena imbas terutama terkait Coretax, efisiensi juga memberikan dampak terhadap kelanjutan penurunan penerimaan negara pada bulan Februari 2025," katanya dalam keterangan, di Jakarta (18/3).
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan perpajakan mencatatkan angka Rp240,4 triliun, 9,7% dari target atau turun sebesar 24,99% secara tahunan (yoy). Penerimaan pajak Rp187,8 triliun, 8,6% dari target atau turun 30,19% (yoy). Penerimaan kepabeanan dan cukai Rp52,6 triliun, 17,5% dari target atau meningkat 2,13% (yoy). Sementara, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) telah terkumpul sebanyak Rp76,4 triliun,14,9% dari target atau turun 4,15% (yoy).
Adapun realisasi belanja APBN sampai dengan Februari 2025, tercatat sebesar Rp348,1 triliun, 9,6% dari total pagu anggaran belanja tahun ini atau turun sebesar 7,% (yoy). Belanja pemerintah pusat mencapai Rp211,5 triliun, 7,8% dari target atau turun sebesar 11,74%. Terdiri dari Belanja Kementerian/Lembaga Rp83,6 triliun atau 7,2% dari target dan Belanja Non-K/L mencapai Rp127,9 triliun atau 8,3% dari target. Sedangkan Transfer ke Daerah mencatatkan realisasi cukup tinggi sebesar Rp136,6 triliun atau 14,9% dari target.
Anis menyebut kondisi tersebut menyebabkan defisit sampai Februari 2025 mencapai Rp31,2 triliun, 0,13% dari produk domestik bruto (PDB). "Posisinya berbalik jika dibandingkan dengan Februari 2024 ketika APBN mengalami surplus Rp26,04 triliun atau 0,11% terhadap PDB. Kondisi ini merupakan kelanjutan dari defisit pada Januari 2025. Jadi dua bulan berturut-turut APBN 2025 mengalami defisit," katanya.