Polemik tunjangan anggota DPR memakan korban. Di tengah gelombang aksi unjuk rasa di Jakarta, Kamis (28/8) lalu, seorang pengemudi ojek online (ojol) bernama Affan Kurniawan tewas dilindas kendaraan taktis Brimob Polri. Tak terlibat langsung dalam aksi unjuk rasa, Affan ketika itu baru saja rampung mengantarkan pesanan makanan.
Kemarahan publik memuncak. Selama beberapa hari, Jakarta dan sejumlah daerah lainnya dibekap unjuk rasa. Rumah sejumlah anggota DPR--termasuk di antaranya politikus NasDem Ahmad Sahroni dan politikus PAN Eko Hendro Purnomo--disambangi, dirusak, dan dijarah warga yang murka.
Parpol bergerak cepat. Sosok-sosok yang dianggap turut mencoreng nama baik DPR dan partai dicopot. Sejumlah anggota DPR kena sanksi penonaktifan dari parpol masing-masing, semisal Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir serta duo anggota DPR dari fraksi PAN Eko Hendro Purnomo dan Surya Utama alias Uya Kuya.
Adies dianggap "berdosa" lantaran mengumbar komponen-komponen tunjangan DPR yang naik di tengah kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat. Adapun Eko dan Uya Kuya "viral" lantaran aksi jogetnya di sela-sela sebuah acara di Gedung DPR RI.
Sanksi untuk Ahmad Sahroni terbilang jauh lebih ringan. Oleh NasDem, Sahroni dicopot dari posisinya sebagai Wakil Ketua Komisi III DPR RI dan digeser menjadi anggota Komisi I DPR RI. Sahroni sempat menyebut "orang yang ingin membubarkan DPR ialah orang paling tolol sedunia."
Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah 'Castro' menilai penonaktifan Adies dan kawan-kawan hanya akal-akalan. Menurut dia, penonaktifan merupakan siasat partai politik untuk meredam kritik publik.
Istilah penonaktifan anggota DPR tidak diatur jelas dalam Undang- undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) serta Peraturan DPR tentang Tata Tertib.
"Jadi kalau di dalam UU MD 3 dan Tatib 2020 itu tidak ada istilah penonaktifan. Yang ada itu pergantian antar waktu (PAW) dan pemberhentian sementara. Jadi, istilah penonaktifan itu tidak dikenal. Saya membaca upaya penonaktifan itu adalah akal-akalan partai politik untuk menghindar dari kritik publik," kata Herdiansyah kepada Alinea.id, Senin (1/9).
Karena tidak diatur secara rinci, menurut Herdiansyah, penonaktifan Adies dan kawan-kawan tidak mempunyai konsekuensi hukum. Anggota DPR yang dinonaktifkan masih tetap menerima gaji dan tunjangan penuh. Lain ceritanya jika Adies dan kawan-kawan diberhentikan sementara.
"Pemberhentian sementara biasanya dilakukan kepada anggota partai- partai politik yang terlibat masalah hukum, baik masalah hukum yang ancaman 5 tahun ke atas atau pun masalah hukum dalam konteks perkara pidana khusus, semisal korupsi dan sebagainya. Itu bisa diberhentikan sebagai anggota DPR sementara waktu sepanjang dia menjadi terdakwa," kata Herdiansyah.
Senada, Direktur Pusat Studi Konstitusi, Demokrasi, dan Masyarakat (Sideka) Fakultas Syariah UIN Samarinda Suwardi Sagama menilai surat pennonaktifan Adies dan kawan-kawan memperlihatkan partai politik tidak serius menyikapi aspirasi publik. Menurut dia, publik ingin anggota DPR yang telah melukai hati publik dipecat.
"Jika serius, partai langsung melakukan PAW karena merupakan kewenangan partai. Sekaligus berbenah agar tidak terulang kembali. Jadi, bukan malah membiarkan api masih menyala dalam sekam. Seharusnya disiram dengan air. Ini malah ditutupin dengan sekam yang baru. Bukannya api akan mati, yang terjadi sebaliknya, api semakin besar," kata Suwardi kepada Alinea.id, Senin (1/9).
Suwardi sepakat penonaktifan sejumlah anggota DPR hanya akal-akalan parpol untuk meredam kritik. Menurut dia, ada mekanisme PAW yang bisa digunakan parpol untuk memecat anggota DPR yang tidak sejalan dengan aspirasi publik.
"Seharusnya, DPR menjadi lembaga terhormat dengan kewenangan yang dimiliki. Ini malah publik akan semakin apatis kepada lembaga DPR. Lembaga DPR RI seharusnya berdiri dengan terhormat menjalankan fungsinya check and balances kepada presiden dalam sistem presidensial," kata Suwardi.