Simalakama Omnibus Law

Omnibus Law Ciptaker tidak substansial dan cenderung mereduksi poin krusial lain yang dibutuhkan untuk menggenjot investasi.

Infografik adu argumen Omnibus Law Cipta Kerja antara pemerintah dengan buruh. Alinea.id/Oky Diaz Fajar

Rabu (11/3) pagi di Hotel Sari Pacific, Jakarta Selatan, dua pimpinan serikat pekerja seluruh Indonesia dan satu perwakilan serikat buruh internasional berembuk soal rencana penolakan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).

Buruh paham bahwa jalan sunyi tidak mungkin lagi bisa dilakukan sekarang. Pasalnya, pemerintah sudah menyerahkan draf undang-undang ‘sapu jagat’ itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pertengahan Februari silam. Draf itu akan dibahas usai reses DPR pada 23 Maret mendatang.

Elly Rosita Silaban, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSBSI)— satu-satunya wanita dalam diskusi itu—mengatakan, buruh harus bergerak, bersatu, melakukan aksi besar menuntut pemerintah membatalkan pembahasan RUU Ciptaker sekarang. Jika tidak, DPR bisa saja mengesahkan RUU itu besok, lusa, tengah malam atau pagi buta.

“Tidak mungkin kami bisa lagi mengutak-atik yang sudah di tangan DPR. Karena kita sudah tahu bahwa DPR itu super power. Mereka bisa menentukan itu tengah malam. Dan kita bangun pagi-pagi sudah ada headline RUU Omnibus Law sudah terjadi,” kata Elly dengan berapi-api saat konferensi pers, Rabu (11/3).

Karenanya, seluruh serikat buruh pun akan bersatu membentuk gerakan besar menolak RUU Omnibus Law Ciptaker usai reses DPR mendatang. Aksi ini digadang-gadang bakal menjadi salah satu gerakan massa terbesar sepanjang sejarah Asia Tenggara.