sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Simalakama Omnibus Law

Omnibus Law Ciptaker tidak substansial dan cenderung mereduksi poin krusial lain yang dibutuhkan untuk menggenjot investasi.

Fajar Yusuf Rasdianto
Fajar Yusuf Rasdianto Senin, 16 Mar 2020 06:06 WIB
Simalakama Omnibus Law

Rabu (11/3) pagi di Hotel Sari Pacific, Jakarta Selatan, dua pimpinan serikat pekerja seluruh Indonesia dan satu perwakilan serikat buruh internasional berembuk soal rencana penolakan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).

Buruh paham bahwa jalan sunyi tidak mungkin lagi bisa dilakukan sekarang. Pasalnya, pemerintah sudah menyerahkan draf undang-undang ‘sapu jagat’ itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pertengahan Februari silam. Draf itu akan dibahas usai reses DPR pada 23 Maret mendatang.

Elly Rosita Silaban, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSBSI)— satu-satunya wanita dalam diskusi itu—mengatakan, buruh harus bergerak, bersatu, melakukan aksi besar menuntut pemerintah membatalkan pembahasan RUU Ciptaker sekarang. Jika tidak, DPR bisa saja mengesahkan RUU itu besok, lusa, tengah malam atau pagi buta.

“Tidak mungkin kami bisa lagi mengutak-atik yang sudah di tangan DPR. Karena kita sudah tahu bahwa DPR itu super power. Mereka bisa menentukan itu tengah malam. Dan kita bangun pagi-pagi sudah ada headline RUU Omnibus Law sudah terjadi,” kata Elly dengan berapi-api saat konferensi pers, Rabu (11/3).

Karenanya, seluruh serikat buruh pun akan bersatu membentuk gerakan besar menolak RUU Omnibus Law Ciptaker usai reses DPR mendatang. Aksi ini digadang-gadang bakal menjadi salah satu gerakan massa terbesar sepanjang sejarah Asia Tenggara.

Seluruh elemen pekerja dan mahasiswa bakal dilibatkan dalam aksi demonstrasi yang akan digelar di depan Gedung DPR-MPR RI ini. Tiga federasi besar pekerja Indonesia, yakni KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) pimpinan Said Iqbal, KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) pimpinan Andi Gani, dan KSBSI bakal turun ke jalan hari itu.

Ratusan federasi pekerja lainnya juga bakal menggelar aksi serempak di wilayah dan daerah masing-masing. Tuntutannya sederhana; menuntut pemerintah membatalkan atau menghapus poin-poin Omnibus Law Ciptaker yang dinilai telah mendegradasi hak-hak buruh.

“Nanti kami akan dilihat, inilah aksi terbesar di Asia Tenggara. Serikat buruh tidak mengancam, tetapi ketika sudah tidak dihargai dan kita tidak diajak lagi konsultasi soal hak hidup kita sesuai hak asasi manusia (HAM), kita akan melawan,” terangnya lagi.

Sponsored

Apabila tuntutan ini tidak diindahkan oleh pemerintah, maka serikat pekerja dan buruh berencana untuk melaksanakan aksi mogok nasional seperti yang pernah mereka lakukan pada 2012 silam. Waktu itu, sekitar 2 juta pekerja dari Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) melaksanakan mogok nasional menuntut pemerintah menaikkan upah minimum pekerja, jaminan kesehatan, dan menghapus skema outsourcing.

Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian saat itu mengatakan, kerugian negara atas mogok nasional tersebut mencapai US$$20 miliar atau setara Rp190 triliun. Meski begitu, peristiwa sejarah ini tidak sampai memukul perekonomian nasional yang sedang pesat-pesatnya kala itu.

Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tetap tumbuh 6,23%. Hanya terkoreksi tipis 0,27% dari PDB 2011 yang mencapai 6,5%. 

Tetapi pertanyaannya, bagaiamana jika aksi mogok nasional itu terjadi sekarang? Jawabannya mudah, tentu risiko lebih besar akan terjadi bagi perekonomian nasional. Apalagi saat ini, perekonomian global tengah dihantui dengan morat-maritnya pasar keuangan akibat wabah pandemik coronavirus (COVID-19) dan anjloknya harga minyak mentah dunia.

Kemungkinan besar ekonomi nasional tidak akan tumbuh lebih dari 5% tahun ini. Lantas apabila itu terjadi, maka rencana pemerintah menggenjot investasi dan membuka lapangan pekerjaan melalui Omnibus Law justru berjalan kontraproduktif dengan tujuan awal pembentukannya.

Untuk itu, Elly berharap agar pemerintah bisa mempertimbangkan lebih jauh terkait RUU Omnibus Law Ciptaker. Khususnya, mengkaji ulang sembilan aspek yang dianggap buruh bermasalah dalam proses penciptaan undang-undang tersebut.

Aktivis yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bersatu (ARB) melakukan aksi damai #GejayanMemanggil Menolak Omnibuslaw di Gejayan, Sleman, D.I Yogyakarta, Senin (9/3). / Antara Foto

Salah jalan

Pertama, adalah hilangnya upah minimum. Presiden KSPI Said Iqbal menjelaskan, upah minimum yang dimaksud adalah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). 

Ini akan membuat kaum pekerja dibayar dengan upah yang sangat rendah. Bahkan, kata dia lagi, upah ini akan langsung ditentukan negara tanpa perlu persetujuan Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan kabupaten. 

“Sebelumnya ‘kan ada pertimbangan-pertimbangan dari provinsi dan kabupaten, tuh, nanti dihapus dengan Omnibus Law. Memang upah minimum masih ada, tapi upah minimum provinsi (UMP). Di Indonesia yang pakai upah minimum provinsi tuh cuma dua, Jogjakarta, dan Jakarta,” tutur Said pada kesempatan yang sama.

Sementara delapan poin lainnya adalah hilangnya pesangon, jam kerja yang eksploitatif, PHK (pemutusan hubungan kerja) dipermudah tanpa dirundingkan pada serikat buruh, dilegalkannya outsourcing seumur hidup, hilangnya jaminan kesehatan, hilangnya jaminan pensiun, mempermudah syarat masuknya tenaga kerja asing (TKA), dan menghilangkan sanksi pidana pada pengusaha yang melakukan kesewenang-wenangan.

Meski pemerintah telah menawarkan solusi lain yaitu dengan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), namun hal tersebut, terang Said, hanyalah akal bulus pemerintah agar buruh membayar pesangonnnya sendiri tanpa andil pengusaha dan pemerintah.

“Kemudian pemerintah seolah-olah ngasih sesuatu yang baru, yang namanya JKP. Itu mah akal-akalan. Kalau dulu pesangon yang bayar siapa? Pengusaha. Sudah pasti yang bayar pengusaha, buruh tinggal terima. Kalau JKP, masa kita membayar diri kita sendiri yang dipecat. Sudah kita dipecat, kita bayar sendiri,” ucap dia.

Said juga menyesalkan sikap pemerintah yang tidak melibatkan serikat pekerja dan buruh dalam pembahasan RUU Omnibus Law Ciptaker sebelum diserahkan ke DPR. Pemerintah, kata Said, hanya mencatut nama serikat pekerja dalam satuan tugas (satgas) pembahasan RUU Omnibus Law Ciptaker untuk melegitimasi rencana pengesahan RUU tersebut. 

“KSPI tidak pernah dan tidak akan masuk ke dalam tim yang dibentuk berdasarkan SK Kemenko Perokonomian nomor 121 tahun 2020 terkait pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja,” terang dia dalam konferensi pers di Hotel Mega Proklamasi pada kesempatan lain.

Walau begitu, Said sebetulnya tidak menampik bahwa tujuan RUU Omnibus Law Ciptaker untuk memberi karpet merah kepada investor memang dibutuhkan Indonesia. Terlebih selama ini, dunia usaha selalu disulitkan dengan adanya tumpang-tindih peraturan yang kerap kali menghambat masuknya investasi asing ke Indonesia.

Akan tetapi, jika tujuan yang baik itu harus dibarengi dengan cara mereduksi hak-hak buruh, ia amat sangat tidak setuju. Menurut Said, pemerintah tetap perlu menjaga keseimbangan antara kepentingan investasi, dan secara bersamaan juga menjaga dan memberikan perlindungan terhadap kaum pekerja.

Hal senada juga disampaikan Shoya Yoshida, Sekretaris Jenderal International Trade Union Confederation Asia Pacific (ITUC-AP). Shoya mengatakan, cara pemerintah mendegradasi hak buruh bukanlah cara yang tepat untuk memburu investasi.

Justru, kata Shoya, memberikan hak-hak buruh adalah cara terbaik untuk mendapatkan investasi. Sebab, suatu industri hanya akan berjalan jika para pekerjanya bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya.

Selain itu, mengedepankan pelatihan dan edukasi bagi para pekerja juga menjadi cara yang tidak boleh terlupakan untuk mendapat investasi. Skill workers atau pekerja dengan keahlian khusus juga akan menggenjot investasi di sektor industri.

“Tapi jangan salah mengerti, kita tidak berusaha menakuti pemerintah Indonesia. Kita memang membutuhkan investasi, tapi kemudian apa yang dibutuhkan investasi, apakah buruh murah? Bukan, yang dicari adalah pekerja yang punya skill, dan industri yang berkelanjutan,” beber dia.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) menyerahkan surat presiden (surpres) tentang Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja kepada pimpinan DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/2). Surpres beserta naskah akademik dan draf RUU Cipta Kerja tersebut terdiri dari 79 Undang-Undang, 15 bab, dan 174 pasal. / Antara Foto

Ekonomi terbesar dunia

Sementara di sisi lain, pemerintah justru meyakini bahwa poin-poin yang ada di RUU Omnibus Law Ciptaker akan berdampak baik pada ekonomi Indonesia. Poin-poin ini juga sudah memihak kepada buruh.

Meski diakui Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) Raden Edi Prio Pambudi, RUU Omnibus Law Ciptaker tidak mungkin bisa menyenangkan semua pihak. Penolakan pasti ada, kata dia, tapi justru di situlah tugas pemerintah seharusnya untuk bisa memberikan pemahaman bagi masyarakat.

“Pemerintah punya tugas untuk memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat. Itu yang kami usahakan. Mohon juga bisa dipahami bahwa setiap kebijakan tidak akan mungkin 100% menyenangkan semua pihak,” kata Edi kepada Alinea.id saat ditemui usai diskusi media di Hotel Millenium, Jakarta, Rabu (11/3).

Edi mengatakan, tujuan utama RUU Omnibus Law Ciptaker ini baik belaka, yaitu untuk mendorong terjadinya perubahan dalam perekonomian nasional agar bisa lebih independen. Sebagian besar poin dalam draf RUU ini berbicara soal harmonisasi perizinan, kemudahan berusaha, investasi, serta usaha Mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Produk hukum ini akan merangkum sekitar 79 undang-undang yang sudah ada dan 1.239 pasal menjadi 15 bab dan 174 pasal. Ada setidaknya 11 klaster pembahasan dalam RUU tersebut.

Klaster pertama adalah melakukan penyederhanaan izin usaha yang selama ini berbelit. Kedua, mengatur ulang persyaratan investasi. Ketiga, pemberdayaan dan kemudahan UMKM.

Kemudian sembilan klaster lainnya adalah ketenagakerjaan, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintah, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, percepatan investasi dan proyek pemerintah, serta kawasan ekonomi khusus (KEK).

Harapannya, 11 klaster pembahasan itu dapat mengharmoniskan tumpang-tindih dan ketidakpastian aturan yang selama ini menghambat investasi di Tanah Air. Sehingga dengan begitu, iklim investasi bisa lebih kondusif dan mampu mendorong produktivitas serta terbukanya lapangan kerja baru.

Aturan ini bertujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar ke-5 dunia pada 2045. Pemerintah ingin menggenjot pendapatan per kapita negara menjadi US$23.200 atau Rp324,9 juta pada tahun itu.

Artinya, saat itu Indonesia harus sudah keluar dari jebakan kelas menangah atau middle income trap, dengan PDB mencapai US$7,4 triliun. Hal ini, kata Edi, sudah sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional atau RPJMN 2020-2045 yang dibahas beberapa waktu lalu.

Untuk itu, Edi pun menampik pernyataan yang menyebut bahwa RUU Omnibus Law Ciptaker hanya berbicara mengenai investasi asing saja. Justru, kata dia, pemerintah akan mengedepankan investasi domestik dan pengupayaan pembukaan lapangan kerja oleh pengusaha lokal.

Hanya saja, Edi tidak berani menyebutkan perkiraan berapa ekonomi nasional akan tumbuh jika RUU Omnibus Law Ciptaker itu disahkan.

“Enggak semuanya asing. Justru yang kami dorong investasi dalam negeri. Kami tidak bisa perkirakan berapa ya (pertumbuhan PDB), tapi yang penting kami utamakan adalah (investasi) yang dari domestik,” jelas dia.

Edi juga menolak tudingan bahwa pemerintah telah mencatut nama serikat buruh untuk melegitimasi RUU Omnibus Law Ciptaker. Menurut Edi, seluruh perwakilan pekerja telah diundang dalam pembahasan RUU Omnibus Law Ciptaker sebelum diserahkan kepada DPR.

“Dilibatkan. Cuma enggak semuanya bisa dilibatkan karena waktunya sangat terbatas. Tapi kalau perwakilan sudah semua masuk. Apalagi sekarang ‘kan proses di DPR semua orang akan bisa bicara,” kata dia sembari berlalu.

Seorang petugas pengamanan melakukan patroli di terminal curah cair Dermaga B Pelabuhan PT Pelindo I Dumai di Dumai, Riau, Selasa (10/3). Presiden Joko Widodo (Jokowi) menargetkan PDB Indonesia akan mencapai US$7,3 triliun setara Rp102.000 triliun pada Visi Indonesia 2045. / Antara Foto

Terlalu eksesif

Kendati demikian, pembahasan RUU Omnibus Law Ciptaker ini dinilai masih tidak ideal dan cenderung syarat kepentingan politis. Pernyataan ini disampaikan Enny Sri Hartati, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) kepada Alinea.id pekan lalu.

Enny mengatakan, penyederhanaan ribuan pasal pada RUU Omnibus Law Ciptaker terlalu eksesif dan telah menyimpang dari koridor yang sebetulnya sangat krusial untuk mengejar investasi. Terutama poin ketenagakerjaan yang menurutnya tidak begitu esensial.

Menurut Enny, persoalan utama investasi di Indonesia adalah masalah perizinan dan harmonasisi antar sektor, serta koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Sementara persoalan ketenagakerjaan hanyalah poin kecil yang bisa dibahas nanti-nanti, setelah semua masalah substantif lainnya terpecahkan.

“Kalau itu (persoalan ketengakerjaan) dipaksa buat dibahas juga, yang ada bakal terus gaduh gini. Terus mana ada yang mau investasi? Omnibus Law ini jangan terlalu eksesif, fokus saja dulu hal yang paling betul-betul krusial sebagai kendala investasi,” kata Enny saat dihubungi melalui sambungan telepon.

Persoalan ketenagakerjaan, sambung Enny, sebaik apapun itu dibuat, tidak akan membantu investasi selama masalah-masalah lainnya terabaikan. Apalagi klaster ketenagakerjaan justru mendapatkan penolakan yang amat besar dari kaum pekerja.

Padahal, kata Enny lagi, saat ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk bisa mengangkat perekonomian nasional di tengah merosotnya perekonomian China yang selama beberapa tahun belakangan selalu menjadi pusat industri dunia.

Indonesia punya kesempatan untuk menggaet investor untuk berinvestasi dan membangun pabrik di Tanah Air dengan meyakinkan mereka bahwa negeri ini aman dan punya kepastian hukum. Tapi untuk itu, pemerintah perlu mempercepat proses pembahasan Omnibus Law dengan meninggalkan beberapa poin yang tidak substansial, termasuk soal ketenagakerjaan yang justru menimbulkan banyak protes di kalangan akar rumput.

“Itu kesempatan emas buat kita. Tapi ‘kan enggak mungkin orang menunggu dalam waktu yang lama berbulan-bulan gitu. Ini kesempatanya jangka pendek. Kalau kita enggak cepat memberikan kepastian dan jawaban dari kendala-kendala mereka berinvestasi di sini, ya lewat,” tegasnya.

Infografik adu argumen Omnibus Law Cipta Kerja antara pemerintah dengan buruh. Alinea.id/Oky Diaz Fajar

Berita Lainnya
×
tekid