Diet karnivor populer di media sosial karena klaim cepat kurus dan tubuh bugar, tapi pakar gizi memperingatkan risikonya: hilangnya serat, nutrisi penting, dan meningkatnya bahaya penyakit jantung.
Pernah melihat linimasa para influencer diet karnivor? Unggahan-unggahan mereka cenderung seragam: piring-piring raksasa berisi steak, burger mengilap lemak mentega, dan iga yang ditumpuk di atas talenan kayu. Tak ada sayuran sama sekali—bahkan selembar daun parsley pun tak muncul sebagai hiasan.
Diet karnivor membawa konsep “rendah karbohidrat” ke tingkat paling ekstrem: menyingkirkan seluruh makanan nabati demi daging, telur, dan produk susu. Beberapa penganutnya bahkan melangkah lebih jauh—hidup hampir sepenuhnya dari daging merah.
Para penggemar diet ini mengklaim manfaatnya luar biasa: penurunan berat badan cepat, kulit yang lebih bersih, perut rata, bahkan remisi dari penyakit autoimun. Namun, klaim tersebut belum terbukti lewat uji klinis yang sahih.
Sebagian lainnya memaknai pola makan ini sebagai cara untuk “kembali ke akar” manusia purba—meniru para pemburu Paleolitikum yang, konon, hidup sehat berkat protein hewani.
Namun, daging yang kita konsumsi hari ini jauh dari gambaran romantik masa lampau itu. Rantai industri pangan modern telah mengubah segalanya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa sepertiga dari total emisi gas rumah kaca global bersumber dari sektor pangan—dan konsumsi daging menjadi penyumbang terbesar.