close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi daging merah. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi daging merah. /Foto Unsplash
Sosial dan Gaya Hidup
Jumat, 10 Oktober 2025 15:00

Apa yang terjadi pada tubuh saat diet karnivor?

Diet karnivor populer di media sosial karena klaim cepat kurus dan tubuh bugar, tapi pakar gizi memperingatkan risikonya: hilangnya serat, nutrisi penting, dan meningkatnya bahaya penyakit jantung.
swipe

Pernah melihat linimasa para influencer diet karnivor? Unggahan-unggahan mereka cenderung seragam: piring-piring raksasa berisi steak, burger mengilap lemak mentega, dan iga yang ditumpuk di atas talenan kayu. Tak ada sayuran sama sekali—bahkan selembar daun parsley pun tak muncul sebagai hiasan.

Diet karnivor membawa konsep “rendah karbohidrat” ke tingkat paling ekstrem: menyingkirkan seluruh makanan nabati demi daging, telur, dan produk susu. Beberapa penganutnya bahkan melangkah lebih jauh—hidup hampir sepenuhnya dari daging merah.

Para penggemar diet ini mengklaim manfaatnya luar biasa: penurunan berat badan cepat, kulit yang lebih bersih, perut rata, bahkan remisi dari penyakit autoimun. Namun, klaim tersebut belum terbukti lewat uji klinis yang sahih. 

Sebagian lainnya memaknai pola makan ini sebagai cara untuk “kembali ke akar” manusia purba—meniru para pemburu Paleolitikum yang, konon, hidup sehat berkat protein hewani.

Namun, daging yang kita konsumsi hari ini jauh dari gambaran romantik masa lampau itu. Rantai industri pangan modern telah mengubah segalanya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa sepertiga dari total emisi gas rumah kaca global bersumber dari sektor pangan—dan konsumsi daging menjadi penyumbang terbesar.

Meski semakin populer di Instagram dan TikTok, pola makan serba daging ini tetap menjadi tren pinggiran. Laporan Good Food Institute tahun 2023 menunjukkan hampir 60 persen rumah tangga di AS justru membeli makanan nabati. 

Sosiolog Richard Twine menilai tren ini lebih dari sekadar persoalan makanan. Meningkatnya visibilitas diet karnivor di media sosial menunjukkan bentuk perlawanan terhadap seruan global untuk mengubah pola makan. 

"Menumpuk piring dengan daging bukan lagi sekadar pilihan gizi, tapi pernyataan sikap—sebuah penolakan terhadap keberlanjutan, nasihat kesehatan publik, dan gagasan arus utama tentang apa itu makan secara bertanggung jawab,” kata Twine seperti dikutip dari National Geographic, Jumat (10/10). 

Pertanyaannya, apa yang benar-benar terjadi ketika seseorang meninggalkan brokoli dan roti demi daging sapi semata? Apakah diet karnivor benar-benar jalan biologis menuju kesehatan—atau sekadar tren baru yang dikemas dalam pakaian purba?

Perubahan pertama yang sering dilaporkan oleh pelaku diet karnivor adalah pada pencernaan mereka—lebih sedikit kembung, lebih sedikit gas, dan pinggang terasa lebih ramping. Tapi, sebagian besar klaim kesehatan itu masih bersifat spekulatif.

Ketika karbohidrat dihilangkan, tubuh beralih ke cadangan glikogen—rantai glukosa yang tersimpan di otot dan hati—untuk energi. Saat glikogen ini terbakar, air yang menyertainya juga ikut hilang, menyebabkan penurunan berat badan yang cepat, namun sebagian besar hanyalah kehilangan air, bukan lemak.

Setelah itu, tubuh memasuki fase ketosis, yaitu keadaan metabolik di mana lemak menjadi sumber energi utama. Ketosis menekan hormon lapar dan meningkatkan sinyal kenyang—membuat banyak pelaku diet merasa lebih ringan dan jarang lapar dalam beberapa minggu pertama.

Tidak jarang pelaku diet karnivor melaporkan berkurangnya kembung dan gas. Namun, kelegaan itu mungkin bukan karena absennya sayuran, melainkan karena hilangnya serat fermentasi tertentu. —terutama makanan tinggi FODMAP, yang memang diketahui memicu gangguan pencernaan bagi sebagian orang.

Sebuah uji acak tahun 2022 menemukan bahwa diet rendah FODMAP secara signifikan menurunkan nyeri perut, kembung, dan ketidakteraturan buang air besar pada orang dewasa dengan sindrom iritasi usus besar (IBS). 

Efek serupa sebenarnya bisa dicapai tanpa menghapus semua makanan nabati. Persoalannnya, mereka yang sudah lama tak mengonsumsi makanan berserat bakal kerepotan saat "pensiun" dari diet karnivor. 

“Saat seseorang kembali makan makanan nabati, ususnya bisa bereaksi berlebihan karena bakteri baik yang membantu mencerna serat itu telah berkurang,” jelas ahli gizi Emily Prpa. “Ini bisa memperburuk gejala dan memperkuat kebiasaan diet yang semakin restriktif.”

Prpa menekankan, serat bukan hanya urusan pencernaan, tapi bagian penting dari kesehatan jangka panjang. “Serat adalah salah satu komponen paling protektif dalam diet manusia, terkait dengan risiko lebih rendah penyakit jantung, kanker, diabetes, serta peningkatan umur panjang dan kesehatan kognitif,” ujarnya.

Sebuah riset pada 2023 menemukan bahwa asupan serat tinggi menurunkan risiko kanker hingga 22 persen, termasuk perlindungan signifikan terhadap kanker usus besar.

“Pada akhirnya,” kata Prpa, “menghapus serat sepenuhnya berarti mencabut salah satu mekanisme pertahanan terbaik yang dimiliki tubuh—baik untuk fisik maupun mental.”

Ilustrasi: Pixabay

"Korban-korban" diet karnivor 

Absennya makanan nabati memicu serangkaian kekurangan nutrisi. Tanpa buah, sayur, dan biji-bijian, tubuh kehilangan sumber penting seperti vitamin C, antioksidan, dan fitonutrien—senyawa nabati yang melawan peradangan dan menopang kesehatan jangka panjang.

Di lain sisi, asupan protein tinggi dalam diet karnivor juga memberi tekanan ekstra pada hati dan ginjal. Hati harus bekerja keras mengubah kelebihan nitrogen dari protein menjadi urea, yang kemudian disaring oleh ginjal. Proses ini dikaitkan dengan peningkatan risiko batu ginjal dan stres organ jangka panjang.

Menurut Prpa, otak juga berpotensi jadi korban yang sering terabaikan. “Diet tinggi serat dari tumbuhan—seperti diet Mediterania—berkaitan dengan suasana hati yang lebih baik, risiko depresi yang lebih rendah, dan perlindungan terhadap kesehatan otak,” katanya.

Selain itu, ada pula risiko penyakit jantung terkait diet karnivor. Para ahli jantung sudah lama memperingatkan bahaya pola makan yang berpusat pada daging merah dan olahan, yang tinggi lemak jenuh dan kolesterol. Kedua komponen ini diketahui meningkatkan kadar kolesterol jahat (LDL)—faktor risiko utama penyakit kardiovaskular.

Sebuah studi kohort tahun 2021 terhadap lebih dari 180.000 peserta menemukan bahwa konsumsi tinggi daging merah meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular sebesar 20 persen, risiko penyakit jantung 53 persen, dan risiko kematian akibat stroke lebih dari dua kali lipat.

Meski sarat risiko, diet karnivor terus menarik pengikut baru—terutama mereka yang frustrasi dengan gangguan pencernaan kronis, intoleransi makanan, atau gejala autoimun.

Dalam jangka pendek, hasilnya memang terasa—terutama bagi mereka yang sebelumnya banyak mengonsumsi makanan ultra-proses. Namun, Prpa mengigatkan risiko kesehatannya dalam jangka panjang masih abu-abu.

“Yang paling mengkhawatirkan dari diet karnivor bukan soal apa yang dimasukkan ke tubuh, tapi semua hal baik yang justru dikeluarkan darinya," ujar dia. 


 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan