Fenomena mendengar suara tak selalu tanda gangguan jiwa. Studi lintas budaya ungkap bagaimana stigma dan penerimaan berbeda di berbagai belahan dunia.
Mendengar suara-suara yang tak kasat mata sering diasosiasikan dengan gangguan jiwa. Padahal, pengalaman itu jauh lebih umum dari yang kita kira. Puluhan studi dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan lebih dari tiga perempat orang tanpa riwayat gangguan mental pernah merasakan ada “suara asing” berbicara dalam kepala mereka.
Di dunia psikiatri Barat, hal semacam itu segera ditempatkan sebagai gejala utama psikosis. Konsekuensinya, stigma negatif begitu lekat. Mereka yang mengalaminya cenderung bungkam, takut dicap sakit jiwa. Namun, di sejumlah budaya lain, hal yang sama justru diterima—bahkan dirayakan. Suara-suara itu dianggap sebagai petunjuk, penyelamat, atau bentuk kehadiran ilahi.
“Harapan dan cara pandang masyarakat, yang dibentuk oleh budaya, lingkungan, serta relasi sosial, memengaruhi apakah halusinasi dipandang sebagai penyakit atau bukan,” kata Tanya Luhrmann, profesor antropologi di Stanford University, sekaligus penulis Our Most Troubling Madness, seperti dikutip dari BBC Future, Senin (8/9).
Dalam DSM-5—kitab standar diagnosis gangguan mental di Amerika Serikat—mendengar suara dikategorikan sebagai tanda utama skizofrenia. Tapi kenyataannya lebih kompleks. Di Eropa dan AS, hingga sekitar 80% orang yang berduka mengaku pernah mendengar atau merasakan kehadiran orang terkasih yang sudah tiada.
Di Amazon, Brasil, halusinasi akibat ritual ayahuasca dipandang sebagai pintu masuk ke realitas lain. Suku Schuar, misalnya, meyakini dunia sehari-hari hanyalah ilusi—realitas justru hadir lewat halusinasi.