Kenapa sebagian masyarakat tampak lebih egois, licik, atau bahkan kejam dibanding yang lain? Jawaban singkatnya mungkin karena budaya. Tapi, menurut riset terbaru yang terbit di Evolution and Human Behavior, penjelasannya tak sesederhana itu. Akar dari perbedaan ini ternyata tertanam lebih dalam—pada kondisi ekologis tempat manusia tumbuh dan beradaptasi.
Para peneliti menyoroti apa yang disebut sebagai “the dark triad”: narsisisme, Machiavellianisme, dan psikopati—tiga sifat yang sama-sama berpusat pada kepentingan diri dan eksploitasi sosial, tapi bekerja lewat mekanisme yang berbeda.
Narsisisme diterjemahkan secara sederhana sebagai sikap haus pujian, Machiavellianisme bermain strategi, sementara psikopati bertindak tanpa empati dan kendali diri.
"Yang menarik, ketiga sifat ini bukan hanya persoalan psikologi individu," kata Dritjon Jon Gruda, peneliti utama dalam riset tersebut, seperti dikutip dari Psychology Today, Kamis (30/10).
Gruda dan kawan-kawan menemukan bahwa lingkungan—dari rasio jenis kelamin, tingkat kematian, hingga ancaman penyakit dan bencana alam—bisa membentuk pola kepribadian kolektif di tingkat negara.
Dalam penelitian terhadap lebih dari 11.000 orang di 48 negara, tim peneliti menemukan jejak jelas dari lingkungan yang keras terhadap psikologi nasional.
Negara dengan lebih banyak laki-laki dibanding perempuan di masa remaja, misalnya, menunjukkan tingkat narsisisme yang lebih tinggi. Kompetisi untuk pasangan mendorong perilaku pamer dan haus status.
Begitu juga di wilayah dengan angka harapan hidup rendah—ketika hidup terasa singkat dan penuh ancaman, strategi “tampil menonjol” bisa jadi cara bertahan. Sebaliknya, di tempat yang dibayangi penyakit menular, perilaku manipulatif dan psikopatik justru lebih rendah.
“Dalam ekosistem dengan ancaman patogen tinggi, menjaga harmoni sosial adalah urusan hidup dan mati. Menipu atau memanipulasi orang lain adalah taruhan berisiko tinggi yang bisa membuat seseorang terisolasi dari kelompoknya,” jelas Gruda.
Penelitian ini juga menemukan bahwa bencana alam memperlebar perbedaan gender dalam sifat-sifat gelap. Di negara yang kerap dilanda badai, banjir, atau gempa, laki-laki cenderung menunjukkan tingkat narsisisme, Machiavellianisme, dan psikopati lebih tinggi dibanding perempuan.
"Lingkungan tak stabil tampaknya memicu strategi jangka pendek dan keberanian mengambil risiko—sifat yang secara evolusioner lebih menonjol pada laki-laki," imbuh Gruda.
Namun, ketika rasio jenis kelamin lebih condong ke laki-laki, celah ini justru menyempit. Perempuan dalam kondisi tersebut juga menunjukkan perilaku lebih kompetitif dan promotif diri—sebuah adaptasi dalam pasar sosial yang padat persaingan.
Ilustrasi anak-anak dari keluarga miskin. /Foto Unsplash
Lintas negara
Riset menunjukkan kepribadian kolektif menular lintas negara. Negara dengan ketimpangan tinggi, misalnya, tak hanya memiliki skor narsisisme dan Machiavellianisme yang tinggi—tapi efek ini juga menjalar ke negara tetangga.
Para peneliti menyebutnya sebagai “psychological spillover”, efek tumpahan psikologis yang menyebar lewat migrasi dan tekanan regional bersama.
"Temuan ini menantang pandangan lama bahwa sifat-sifat gelap hanyalah cacat pribadi atau produk budaya. Dalam konteks ekologis, ketiganya bisa dilihat sebagai mekanisme adaptif terhadap dunia yang keras dan tak pasti," kata Gruda.
Di lingkungan penuh risiko dan persaingan, perilaku egosentris bisa jadi strategi bertahan. Sementara di dunia yang diselimuti penyakit dan ketergantungan sosial tinggi, kerja sama dan kepatuhan justru jadi kunci keselamatan.
Pesannya sederhana: sifat-sifat gelap juga punya ekologi. Narsisisme, manipulasi, dan psikopati bukan hanya hasil gen atau masa kecil—tapi cermin dari logika bertahan hidup manusia di tengah kondisi yang ekstrem.
"Memahami hal ini membantu kita melihat bahwa perbedaan antarbangsa, antara masyarakat yang tampak lebih kejam atau lebih lembut, bukan semata urusan moral—melainkan hasil adaptasi terhadap dunia yang mereka hadapi," ujar Gruda.