close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi orang tua berdoa. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi orang tua berdoa. /Foto Unsplash
Sosial dan Gaya Hidup
Rabu, 29 Oktober 2025 11:05

Didikan religius dan risiko kesehatan di masa tua

Didikan religius sejak kecil tak selalu menyehatkan di usia tua; riset Eropa menunjukkan efeknya bergantung pada stabilitas keluarga, kelas sosial, dan konteks hidup.
swipe

Ada anggapan lama yang sulit mati: bahwa tumbuh dalam keluarga religius akan membuat seseorang lebih sehat, lebih damai, dan lebih kuat menghadapi hidup di masa tua. Namun sebuah studi internasional terbaru justru menantang keyakinan itu.

Riset yang dipublikasikan di jurnal Social Science & Medicine ini mencoba menjawab pertanyaan klasik yang selama ini menggantung di antara dunia sains dan spiritualitas: apakah didikan religius di masa kecil benar-benar membawa berkah bagi kesehatan di kemudian hari?

Dalam risetnya, tim peneliti dari Universitas Helsinki menggunakan data dari “Survey of Health, Aging, and Retirement in Europe,” yang melibatkan lebih dari 10.000 responden berusia di atas 50 tahun di seluruh Eropa. 

Alih-alih menggunakan metode statistik konvensional, mereka memanfaatkan algoritma causal forest—sebuah pendekatan berbasis kecerdasan buatan—untuk menelusuri hubungan sebab-akibat antara masa kecil yang religius dan kondisi kesehatan di masa tua.

Hasilnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Dari seluruh peserta, hampir 80 persen mengaku dibesarkan dalam lingkungan religius. Mereka umumnya lebih tua, sedikit kurang berpendidikan, dan agak lebih jarang merokok dibanding mereka yang tumbuh tanpa agama. 

Namun demikian, ketika 19 variabel sosial dan demografis diperhitungkan, muncul temuan yang mengejutkan: mereka yang dididik secara religius justru menilai kesehatan mereka di usia tua sedikit lebih rendah dibanding kelompok sekuler.

Ketika dibagi ke dalam tiga aspek utama, polanya tampak berlapis: Pertama, terkait kesehatan fisik. Yang sekuler cenderung sedikit lebih baik di kalangan yang religius. 

Kedua, kesehatan mental. Pada aspek ini, kelompok yang dididik secara relijius juga cenderung punya kesehatan mental yang lebih buruk, dengan tingkat depresi yang lebih tinggi. Ketiga, kesehatan kognitif. Yang sekuler juga unggul pada aspek ini. 

Xu Zong, peneliti utama dalam riset tersebut, menjelaskan bahwa agama memang bisa memberi manfaat, namun tidak otomatis melindungi seseorang dari risiko kesehatan yang bersumber dari kondisi sosial yang timpang. 

“Masalah kesehatan mental orang tua dan konsumsi alkohol berlebihan memperburuk dampak negatif dari didikan religius terhadap kesehatan di usia tua,” kata Xu Zong seperti dikutip dari Psychiatrist, Rabu (28/10). 

Menariknya, mereka yang justru terlihat lebih sehat dalam kelompok ini biasanya berasal dari keluarga yang stabil dan cukup secara ekonomi—sebuah penanda bahwa konteks sosial tetap lebih kuat daripada ajaran moral yang diwariskan.

Aspek perilaku religius di usia tua juga ikut berperan. Para lansia yang lebih sering berdoa sendiri, tetapi jarang hadir di kegiatan keagamaan bersama, justru menunjukkan hubungan negatif yang lebih kuat terhadap kesehatan. Para peneliti menduga, doa yang dilakukan secara soliter bisa menjadi bentuk pelarian dari tekanan sosial, bukan sekadar ekspresi iman.

Semakin sekuler

Temuan ini mencerminkan wajah Eropa pascaperang yang kian sekuler. Sebagian besar responden lahir sebelum 1950, dibesarkan di tengah tradisi gereja yang kuat, namun kini hanya sekitar 14 persen yang masih rutin beribadah—bandingkan dengan hampir separuh warga Amerika pada usia yang sama.

"Ini mungkin menjelaskan mengapa agama kini tampak kurang protektif, bahkan bisa menjadi beban psikologis dalam konteks sosial modern," tulis para peneliti dalam laporan risetnya.

Di sisi lain, religiusitas juga lebih banyak ditemukan di kalangan berpenghasilan rendah—mereka yang mengandalkan jaringan berbasis iman sebagai sumber dukungan emosional dan material. Dalam kerangka ini, didikan religius masa kecil bukan lagi sumber kekuatan, melainkan cerminan dari ketimpangan sosial yang diwariskan lintas generasi.

Secara statistik, perbedaannya memang kecil—sekitar sepersepuluh poin dalam skala lima poin kesehatan. Namun dengan bantuan model pembelajaran mesin, para peneliti berhasil menyingkap variasi individu yang selama ini terlewat dalam studi konvensional.

Kesimpulannya sederhana namun tajam: agama, seperti halnya cinta dan keluarga, tidak bekerja dalam ruang hampa. Pengaruhnya terhadap kesehatan tidak pernah tunggal—ia bergantung pada kelas sosial, gender, kondisi keluarga, dan bagaimana seseorang memeluk atau menjauh dari imannya di usia dewasa.

"Agama bisa membawa dampak baik, namun tak cukup kuat untuk meniadakan risiko kesehatan yang berasal dari beban sosial dan ekonomi jangka panjang," jelas Xu Zhong. 

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan