close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi bisikan gaib. /Foto Pixabay
icon caption
Ilustrasi bisikan gaib. /Foto Pixabay
Sosial dan Gaya Hidup
Senin, 08 September 2025 19:00

Suara gaib di kepala: Antara stigma dan kepercayaan di berbagai belahan dunia

Fenomena mendengar suara tak selalu tanda gangguan jiwa. Studi lintas budaya ungkap bagaimana stigma dan penerimaan berbeda di berbagai belahan dunia.
swipe

Mendengar suara-suara yang tak kasat mata sering diasosiasikan dengan gangguan jiwa. Padahal, pengalaman itu jauh lebih umum dari yang kita kira. Puluhan studi dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan lebih dari tiga perempat orang tanpa riwayat gangguan mental pernah merasakan ada “suara asing” berbicara dalam kepala mereka.

Di dunia psikiatri Barat, hal semacam itu segera ditempatkan sebagai gejala utama psikosis. Konsekuensinya, stigma negatif begitu lekat. Mereka yang mengalaminya cenderung bungkam, takut dicap sakit jiwa. Namun, di sejumlah budaya lain, hal yang sama justru diterima—bahkan dirayakan. Suara-suara itu dianggap sebagai petunjuk, penyelamat, atau bentuk kehadiran ilahi.

“Harapan dan cara pandang masyarakat, yang dibentuk oleh budaya, lingkungan, serta relasi sosial, memengaruhi apakah halusinasi dipandang sebagai penyakit atau bukan,” kata Tanya Luhrmann, profesor antropologi di Stanford University, sekaligus penulis Our Most Troubling Madness, seperti dikutip dari BBC Future, Senin (8/9). 

Dalam DSM-5—kitab standar diagnosis gangguan mental di Amerika Serikat—mendengar suara dikategorikan sebagai tanda utama skizofrenia. Tapi kenyataannya lebih kompleks. Di Eropa dan AS, hingga sekitar 80% orang yang berduka mengaku pernah mendengar atau merasakan kehadiran orang terkasih yang sudah tiada.

Di Amazon, Brasil, halusinasi akibat ritual ayahuasca dipandang sebagai pintu masuk ke realitas lain. Suku Schuar, misalnya, meyakini dunia sehari-hari hanyalah ilusi—realitas justru hadir lewat halusinasi. 

Situasinya berbeda 180 derajat di kebudayaan suku Achuar di Ekuador. Suku itu melarang berkabung karena percaya visi orang mati justru mengancam jiwa yang hidup.

Penelitian lintas budaya yang dilakukan Luhrmann mengungkap perbedaan signifikan. Pasien skizofrenia di AS umumnya membenci suara-suara dalam kepala mereka. Identitas si “pembicara” pun samar, asing, bahkan menakutkan.

Sementara di Chennai, India, lebih dari separuh partisipan justru mengenali suara itu sebagai orang tua, mertua, atau saudara. Mereka mendengar nasihat sehari-hari: berbelanja, memasak, atau mandi. Di Ghana, suara-suara kerap dianggap sebagai pesan Tuhan. 

“Mereka menyuruh saya melakukan hal yang benar. Kalau bukan karena suara itu, mungkin saya sudah mati,” ujar seorang partisipan di Accra yang dikutip Luhrmann dalam studinya.

Luhrmann menemukan bahwa orang Barat cenderung memandang pikiran sebagai wilayah privat. Sedangkan di budaya lain, pikiran dianggap terhubung. Itulah sebabnya konsep “telepati” atau “ilham ilahi” tak asing.

Di Nigeria, antropolog Jane Murphy mencatat, suku Egba Yoruba menerima pengalaman mendengar suara sebagai hal lumrah. Orang-orang bahkan menunjuk arah datangnya suara—meski hanya mereka yang bisa mendengarnya.

Konsep psikologi menyebut ada dua sifat kepribadian yang menjelaskan keterbukaan ini: porosity (keterbukaan menerima pikiran eksternal) dan absorption (kemampuan larut dalam dunia imajinasi). Keduanya membuat seseorang lebih siap menerima suara, bukan sekadar menolaknya.

Ilustrasi pasien scizophrenia. /Foto Unsplash

Indikasi positif suara gaib 

Menariknya, studi komparatif antara pasien di India dan Barat menunjukkan perbedaan pemulihan. Pasien di Chennai, India, memiliki gejala negatif yang lebih ringan dan lebih mampu berfungsi sosial—bahkan setelah setahun tanpa obat. 

Konteks sosial menjadi kunci: keluarga di India hampir selalu terlibat, membawa pasien ke klinik, menjaga mereka tetap dalam lingkaran domestik.

Ashok Malla, psikiater di McGill University, menegaskan bahwa di India, peran sosial tak hanya ditentukan oleh pekerjaan formal, melainkan juga mengurus rumah atau orang tua. Sementara di Barat, tak bekerja kerap dilihat sebagai stigma.

Tentu, tidak semua suara positif. Banyak pasien di AS mendengar bisikan mengancam, bahkan menyuruh menyakiti diri atau orang lain. Konteks sosial seperti tingginya angka kekerasan bersenjata dan tunawisma di AS ikut memperburuk pengalaman ini.

Namun, jika di banyak belahan dunia mendengar suara dianggap bagian dari spiritualitas, mungkin cara kita memandangnya pun perlu digeser. “Di berbagai budaya, orang diharapkan melihat arwah, berbicara dengan roh, atau berinteraksi dengan peri,” kata Luhrmann.

Pertanyaan yang tersisa: apakah mendengar suara harus selalu dianggap sebagai penyakit atau bisa juga dipandang sebagai bentuk lain dari keberadaan manusia?
 

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan