close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi simpanse. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi simpanse. /Foto Unsplash
Sosial dan Gaya Hidup
Jumat, 31 Oktober 2025 18:32

Kera pun ternyata bisa jadi "hakim"

Simpanse mampu menimbang bukti dan mengubah keputusan berdasarkan informasi baru—menunjukkan bahwa kera besar juga memiliki kemampuan berpikir reflektif layaknya manusia.
swipe

Mengambil keputusan tertentu berbasis bukti-bukti yang ada selama ini dianggap sebagai salah satu hak istimewa manusia karena punya otak yang canggih. Namun, penelitian terbaru yang diterbitkan di jurnal Science menunjukkan simpanse juga ternyata bisa menjadi "juri di pengadilan".  

Penelitian itu dipimpin oleh Jan Engelmann, psikolog komparatif dari University of California, Berkeley. Untuk riset tersebut, ia dan timnya mengunjungi Ngamba Island Chimpanzee Sanctuary, tempat 53 simpanse yang diselamatkan dari perdagangan satwa liar kini hidup bebas di tengah hutan dan hanya tidur di kandang aman pada malam hari.

Dalam serangkaian eksperimen, para peneliti mengamati bagaimana hewan-hewan menilai kualitas bukti di depan mereka, menyesuaikan pilihan berdasarkan informasi baru, bahkan mengubah keyakinan mereka setelah melihat bukti yang lebih kuat. 

“Itu luar biasa. Kita sedang hidup berdampingan dengan makhluk lain yang benar-benar cerdas,” kata Kristin Andrews, filsuf di City University of New York yang meneliti kognisi hewan, seperti dikutip dari Science, Jumat (31/10). Andrews tak terlibat langsung dalam riset yang dilakoni Engelmann cs. 

Menurut laporan riset, para simpanse sukarela ikut serta dalam eksperimen. Ada yang datang dengan antusias, berguling atau berputar karena terlalu bersemangat. Ada juga yang sama sekali tak tertarik, memilih sibuk dengan aktivitas lain di pulau itu.

Dalam eksperimen pertama, para peneliti memperlihatkan dua kotak. Satu kotak memberikan bukti kuat bahwa di dalamnya ada makanan—karena ada panel kaca yang memperlihatkan sepotong apel. Kotak kedua hanya memberikan bukti lemah: ketika digoyang, terdengar sesuatu beradu di dalamnya, tapi yang ada hanya bola kayu, bukan makanan.

Para simpanse diberi kesempatan memilih kotak mana yang ingin mereka buka. Setelah itu, peneliti menunjukkan bukti dari kotak lain dan menawarkan mereka untuk mengganti pilihan atau bertahan pada keputusan awal.

Hasilnya konsisten. Ketika simpanse lebih dulu melihat apel di balik kaca, mereka tetap pada pilihan itu meski diperlihatkan kotak lain yang hanya mengeluarkan suara. Tetapi, ketika mereka pertama kali mendengar bunyi dari kotak yang digoyang—tanpa melihat isi—dan kemudian diperlihatkan kotak lain yang memperlihatkan apel secara jelas, mereka berpindah pilihan.

Dalam versi lain dari eksperimen, peneliti membalik kondisi. Kali ini, salah satu kotak hanya menampilkan “jejak” makanan, sementara kotak lain mengeluarkan bunyi yang lebih meyakinkan. Dan, benar saja, simpanse lebih memilih bukti yang lebih kuat secara auditif—mereka memilih kotak yang berguncang.

“Melihat bukti sebersih ini, di mana hewan benar-benar merevisi keyakinannya berdasarkan kekuatan bukti, sangat menggembirakan,” ujar Andrews. “Mereka bisa membedakan antara bukti yang kuat dan yang lemah—melihat makanan langsung lebih meyakinkan daripada sekadar mendengarnya.”

Dalam eksperimen lanjutan, peneliti menguji apakah simpanse juga bisa menilai keaslian bukti. Mereka memperlihatkan kotak dengan gambar apel di balik “panel kaca palsu”—bukan apel sungguhan. Ketika menyadari hal itu, kera-kera besar itu beralih ke kotak lain yang memberikan bukti lebih nyata.

Di eksperimen lain, peneliti menambahkan “lapisan bukti”. Satu kotak menampilkan apel yang terlihat jelas, sementara dari kotak lain, peneliti menjatuhkan sepotong apel kedua ke dalamnya. Setelah mendengar suara apel dijatuhkan, simpanse pun mengubah pilihannya ke kotak yang baru.

Bagi Suzanne MacDonald, psikolog komparatif di York University, temuan ini menegaskan satu hal penting: simpanse tak hanya bisa membentuk keyakinan dari bukti, tapi juga memperbarui keyakinan itu ketika bukti baru muncul. “Itu luar biasa,” katanya.

Ilustrasi simpanse berpikir. /Foto Unsplash

Refleksi diri

Selama ini, sulit bagi para ilmuwan untuk memastikan apakah hewan benar-benar sadar akan proses berpikirnya sendiri. Sebelumnya, sejumlah studi sudah menunjukkan bahwa primata mampu mengenali kapan mereka tahu sesuatu dan kapan tidak. 

Namun, para skeptis berpendapat, perilaku itu mungkin bisa dijelaskan dengan mekanisme kognitif yang lebih sederhana—tanpa harus melibatkan refleksi diri.

Bagi manusia, mengambil keputusan berdasarkan bukti-bukti yang ada terasa sangat akrab. Kita pun sering melakukan proses yang sama, entah saat menilai kejujuran seseorang, menafsirkan berita, atau mengambil sikap di tengah ketidakpastian. 

Namun demikian, melihat proses ini terjadi pada simpanse membuka perspektif baru: mungkin kemampuan menimbang bukti bukanlah eksklusif milik Homo sapiens, tapi bagian dari warisan evolusi kognitif yang lebih tua.

Menurut Brian Hare, antropolog evolusi dari Duke University yang menulis perspektif pendamping untuk riset ini di Science, langkah berikutnya adalah menguji kemampuan serupa pada spesies lain—misalnya bonobo, kerabat dekat simpanse dan manusia.

Selain mengubah cara kita memahami kecerdasan hewan, penelitian ini juga menyoroti pentingnya etika dalam riset. Dengan bekerja di suaka, bukan laboratorium, para ilmuwan menunjukkan bahwa sains bisa dilakukan tanpa mengorbankan kesejahteraan satwa.

“Ini menunjukkan bahwa penelitian perilaku bisa berjalan seiring dengan konservasi dan kesejahteraan hewan,” ujar Hare. “Ada cara untuk melakukan sains di mana semua pihak menang.”


 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan