close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi berdoa. /Foto Unsplash
icon caption
Ilustrasi berdoa. /Foto Unsplash
Peristiwa
Jumat, 17 Oktober 2025 15:00

Neurosains di balik fenomena-fenomena "mukjizat"

Peneliti dari Northwestern University, Jordan Grafman, menelusuri bagaimana otak manusia memproses keyakinan terhadap mukjizat.
swipe

Pada 2007, di sebuah rumah sakit di Rhode Island, Amerika Serikat, seorang bayi lahir terlalu cepat lewat operasi caesar. Ia lahir nyaris tanpa oksigen. Beberapa jam kemudian, detak jantungnya melemah hingga hampir tak terdeteksi. 

Sang dokter, kehabisan pilihan medis, menunduk dan berdoa. Bukan kepada Tuhan secara umum, melainkan kepada seorang imam Spanyol bernama Salvador Valera Parra, yang wafat pada 1889.

Beberapa detik setelah doa itu selesai, jantung si bayi berdetak kembali. Tak ada kerusakan otak, tak ada cacat fisik, tak ada penjelasan medis yang memadai. Dua puluh tahun kemudian, Paus Leo XIV mengumumkan bahwa peristiwa itu resmi diakui sebagai sebuah mukjizat.

Sejak abad ke-16, Vatikan memiliki lembaga yang bertugas meneliti keajaiban semacam itu: Dicastery for the Causes of Saints. Di sanalah setiap kisah yang disebut “mukjizat” diuji, diverifikasi, dan — jika memenuhi syarat — dijadikan dasar untuk mengangkat seseorang menjadi santo. Syaratnya sederhana tapi mustahil: sang calon harus terbukti menyebabkan setidaknya dua peristiwa yang tak bisa dijelaskan secara ilmiah.

Mukjizat, dalam definisi Vatikan, adalah hal yang melampaui hukum alam. Sesuatu yang tak bisa diulang, tak bisa diuji, dan tak memiliki penyebab yang bisa diterangkan. Dalam kerangka itu, sains berhenti di tepi batas misteri.

Selama bertahun-tahun, Jordan Grafman, ahli neuropsikologi dari Northwestern University mencoba menjembatani dua dunia itu. Ia tidak berangkat dari niat membuktikan Tuhan — dan tidak pula berusaha membantahnya.

Yang ingin ia pahami adalah sesuatu yang lebih tak kentara: apa yang terjadi di otak manusia ketika ia percaya pada mukjizat?

Grafman meminjam definisi mukjizat yang hampir serupa dengan Gereja: peristiwa yang diyakini seseorang sebagai hasil campur tangan supranatural. Bedanya, ia tidak menguji “keaslian” mukjizat itu — melainkan struktur keyakinannya.

Bagi Grafman, mukjizat bukan sekadar kebetulan. Ia memberi contoh: ketika tim baseball favoritnya, Chicago Cubs, memenangkan World Series pada 2016, ia bisa saja berseru “ini mukjizat!”

"Tapi, itu hanya metafora. Mukjizat sejati menuntut satu unsur penting: keyakinan bahwa kekuatan tak terlihat ikut turun tangan," kata Grafman seperti dikutip dari BBC Future, Jumat (17/10). 

Itulah yang menarik baginya — keyakinan itu sendiri. Apa yang terjadi di otak seseorang ketika ia merasa disentuh oleh yang ilahi? Apakah kepercayaan pada mukjizat punya jejak biologis, sama seperti cinta, rasa takut, atau trauma?

Karier Grafman selalu berputar di seputar keyakinan. Ia meneliti fundamentalisme, mistisisme, hingga pola pikir sosial dan politik. Dari sana, ia menemukan bahwa bagian-bagian tertentu di otak berperan dalam membentuk keyakinan religius. Cedera di area tertentu bahkan bisa meningkatkan atau menurunkan religiositas seseorang.

Bagi Grafman, mukjizat adalah pintu masuk berikutnya. Ia merasa, di sanalah letak jantung dari keimanan manusia. 

“Manusia berevolusi bersama pikiran-pikiran yang tak terlihat,” kata Patrick McNamara, rekan sejawatnya di Boston University dan penulis The Neuroscience of Religious Experience. 

Mukjizat, lanjut McNamara, bukan sekadar bukti keberadaan Tuhan, tapi juga semacam lem sosial yang membuat manusia terus bergabung dan bertahan dalam kelompok keagamaan.

Namun, berbeda dengan pengalaman mistik atau ritual ibadah yang sudah banyak dikaji, studi tentang mukjizat masih nyaris kosong. “Kita tahu sangat sedikit tentang fondasi saraf di balik kepercayaan terhadap mukjizat,” ujar Irene Cristofori, kolega Grafman di CNRS, Prancis.

Grafman menolak anggapan bahwa mukjizat tak bisa dijelaskan. Bagi dia, menolak mencari penjelasan justru melanggar rasa ingin tahu manusia itu sendiri.

Sejarah mukjizat 

Jauh sebelum agama modern lahir, manusia sudah menyembah dewa-dewa yang mampu menyembuhkan dan menghancurkan. Dewa Asclepios dalam mitologi Yunani, misalnya, konon bisa menghidupkan orang mati — hingga akhirnya dibunuh Zeus karena dianggap melampaui batas.

Dalam kepercayaan lain, kata untuk mukjizat berarti “tanda”. Sebuah sinyal bahwa Tuhan hadir, memperhatikan, dan sesekali ikut campur dalam urusan dunia. “Bagaimana lagi manusia bisa meyakini keberadaan Tuhan,” tanya Grafman, “kalau tidak lewat peristiwa yang melampaui pengetahuan kita sendiri?”

Pada abad-abad awal Kekristenan, mukjizat ditentukan lewat suara rakyat. Setiap kejadian yang menimbulkan rasa takjub bisa dianggap mukjizat. Seorang biarawan abad ke-8, Winnoc, bahkan diakui sebagai santo hanya karena berhasil memperbaiki cawan misa yang retak dan membuat lampu yang jatuh tidak pecah.

Namun ketika penahbisan para "santo" tak lagi terkendali, Gereja mulai memperketat kriterianya. Hanya peristiwa yang benar-benar menyalahi hukum alam yang boleh disebut mukjizat. Dari sinilah benturan dengan sains mulai tumbuh.

Filsuf-filsuf modern, dari Spinoza hingga Voltaire, bahkan menolak konsep mukjizat sama sekali. “Jika Tuhan menciptakan hukum alam, mengapa Ia harus melanggarnya?” tanya Spinoza. Voltaire menambahkan sinis, “Siapa pun yang bisa membuatmu percaya hal mustahil, bisa membuatmu melakukan hal-hal mengerikan.”

Meski skeptisisme kian kuat, kepercayaan terhadap mukjizat justru bertahan. Survei dari University of Chicago mencatat bahwa pada 2018, 62 persen orang beragama di Amerika masih percaya mukjizat itu nyata — meningkat dibanding 1991.

Untuk memahami kepercayaan itu, Grafman membangun “registri religius”: kumpulan ratusan umat Kristen di wilayah Chicago yang bersedia diteliti. Lebih dari separuh dari mereka mengaku pernah mengalami mukjizat, sebagian besar berupa kesembuhan dari penyakit yang dianggap mustahil.

Menariknya, para responden datang dari berbagai usia, ras, dan tingkat pendidikan. Mukjizat, tampaknya, tak mengenal batas demografis — ia hadir di ruang yang lebih dalam dari sekadar pengetahuan.

Penampakan pohon Buddha di Kuil Mahathat di Ayutthaya, Thailand. /Foto Pixabay

Otak dan mukjizat 

Langkah berikutnya, Grafman membawa pertanyaan itu ke laboratorium. Ia memanfaatkan data pemindaian otak dari veteran Perang Vietnam yang mengalami cedera otak. 

Hasil awalnya memunculkan pola yang mengejutkan: mereka yang memiliki kerusakan di bagian depan otak lebih percaya pada mukjizat, sementara yang cedera di bagian belakang justru lebih skeptis. Area yang terlibat bukan wilayah “magical thinking”, melainkan jaringan yang mirip dengan respons placebo — situasi ketika keyakinan bisa memicu perubahan biologis nyata.

Apakah ini berarti iman bekerja dengan mekanisme yang sama seperti harapan penyembuhan? Grafman belum berani menyimpulkan. Tapi baginya, di situlah keindahan sains: setiap jawaban selalu membuka pertanyaan baru.

Di tahap selanjutnya, Grafman berencana menempatkan para penganut mukjizat di mesin fMRI untuk melihat pola aktivitas otak mereka. Ia ingin tahu: apakah keyakinan terhadap mukjizat beroperasi di wilayah yang sama dengan keyakinan politik atau ideologi? Apakah mukjizat, seperti ideologi, juga membuat kita mencari keteraturan dalam kekacauan?

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa saat seseorang berdoa, bagian otak yang aktif adalah area yang digunakan ketika kita bersosialisasi dengan teman dekat. Mungkin, bagi banyak orang, Tuhan memang bukan konsep abstrak — melainkan sosok yang nyata, hadir, dan bisa diajak bicara.

Sementara Vatikan masih memeriksa rekam medis dan hasil lab untuk memastikan suatu mukjizat tak bisa dijelaskan, Grafman menelusuri arah sebaliknya: bukan mencari Tuhan di luar tubuh, melainkan Tuhan di dalam otak.

Ia mengakui, tugasnya lebih mudah. Ia tak perlu membuktikan hukum alam bisa dilanggar. Cukup menemukan bahwa di dalam otak manusia — entah beriman atau ateis — selalu ada ruang bagi gagasan tentang Tuhan.

“Bahkan jika seseorang menolak agama dan mukjizat,” kata Grafman, “Tuhan tetap hidup di dalam pikirannya.”

Mukjizat, bagi sebagian orang, adalah bukti cinta Tuhan. Bagi yang lain, hanyalah kejanggalan statistik. Tapi di antara dua kutub itu, sains kini mencoba berdiri: bukan untuk meniadakan misteri, melainkan untuk memahami mengapa kita membutuhkannya.

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan