Toxic productivity: Yang harus dilakukan saat membenci pekerjaan

Keinginan untuk produktif hingga menyebabkan burnout dan mengganggu kesehatan mental (Toxic productivity) kini mulai dikenal di dunia kerja.

Ilustrasi burnout akibat toxic productivity. Unsplash

Istilah toxic productivity atau keinginan untuk terus-terusan produktif sehingga menyebabkan burnout dan mengganggu kesehatan mental kini mulai dikenal di dunia kerja. Sayangnya, kebanyakan kaum milenial yang menjadi korban tidak menyadari sebenarnya mereka membenci pekerjaannya.

Situs web The Guardian mengulas Out of Office, buku karya Charlie Warzel dan Anne Helen Petersen yang menjelaskan produktivitas tidak sehat dan mengapa sekarang adalah momentum tepat untuk mengubahnya.

Sadarkah kamu adopsi teknologi yang seharusnya membantu meringankan pekerjaan justru berakhir dengan semakin meningkatnya pekerjaan-pekerjaan baru? Email seharusnya membebaskan kita dari membaca dokumen kertas yang panjang setiap hari, tetapi kita sekarang mengirim email kepada diri sendiri dalam format pdf untuk dibaca di jam-jam tenang setelah bekerja. Ponsel pintar pun membuat pekerja membalas bos ketika berada di bus, sambil menempatkan anak-anak kita untuk tidur, atau bahkan di toilet.

Out of Office, sebuah buku karya wartawan Charlie Wartzel dan Anne Helen Petersen, mengeksplorasi mengapa budaya produktivitas telah begitu sukses memengaruhi kita untuk bekerja lebih banyak. Kini, ketika jutaan orang berhenti dari pekerjaan mereka atau harus bekerja dari rumah, menjadi waktu yang tepat untuk meredefinisi produktivitas untuk kebaikan pekerja bukan bos.

Mengapa semua orang tampaknya sangat muak dengan pekerjaannya? Menurut Warzel, orang-orang, terutama di pekerja profesional, selama bertahun-tahun menginginkan fleksibilitas dalam pekerjaan. Namun, budaya dan atasan membuat kantor menjadi inti produktivitas. Pandemi kemudian datang dan kita dipaksa bereksperimen memindahkan produktivitas itu ke rumah.