sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Baby blues dan postpartum depression: Gangguan emosi pascapersalinan

Baby blues biasanya berlangsung sekitar dua minggu setelah melahirkan.

Maulida Alfi Syahrani
Maulida Alfi Syahrani Selasa, 19 Des 2023 06:48 WIB
<i>Baby blues</i> dan <i>postpartum depression</i>: Gangguan emosi pascapersalinan

Pada Oktober 2023, beredar video viral seorang perempuan tengah menenggelamkan bayi di dalam ember berisi air. Sang bayi dibiarkan mengambang dan menangis. Bukannya ditolong, ibunya malah menyalakan air keran yang mengenai wajah si bayi.

Sebelumnya, pada September 2023, juga beredar video viral seorang perempuan yang diduga hendak membuang bayinya ke rel kereta Stasiun Pasar Minggu, Jakarta. Dua kejadian itu kemungkinan adalah pengaruh dari sang ibu yang mengalami baby blues syndrome.

Menurut World Health Organization (WHO), angka kejadian baby blues syndrome di dunia antara 26% hingga 85%. Ketua Komunitas Wanita Indonesia Keren, Maria Stefani Ekowati, seperti dikutip dari Antara menyebut, berdasarkan sebuah penelitian skala nasional, sebanyak 50% hingga 70% ibu di Indonesia mengalami gejala minimal-sedang baby blues. Angka ini tertinggi ketiga di Asia.

Psikolog klinis Novy Yulianty mengatakan, baby blues adalah kondisi emosional yang umum terjadi pada ibu, setelah melahirkan. Bagi Novy, sindrom ini bukan kondisi medis yang serius. Biasanya, mulai muncul dalam beberapa hari setelah persalinan. Gejalanya cenderung mereda secara alami dalam beberapa minggu.

"Ciri-ciri baby blues mencakup perubahan suasana hati yang tiba-tiba, rentan menangis tanpa alasan yang jelas, perasaan sedih atau kelelahan yang sulit dijelaskan, kesulitan tidur meskipun mengalami kelelahan fisik, kecemasan yang berlebihan, serta merasa tidak mampu atau ragu dalam merawat bayi," ujar Novy kepada Alinea.id, Senin (18/12).

Psikolog klinis yang fokus pada depresi pascapersalinan, Shoshana Bennett dalam Psychology Today menulis, sebesar 50% hingga 80% ibu mengalami kesedihan, kerentanan, dan stres usai persalinan.

“Perasaannya tidak enak, tetapi ringan dan bersifat sementara,” tulis Bennett.

Baby blues berlangsung selama sekitar dua minggu setelah melahirkan. Namun, kata Bennett, jika gejala ini terus berlanjut, meski ringan, maka kondisinya disebut postpartum depression.

Sponsored

Co-Clinic Direktor di Octave, New York sekaligus konselor kesehatan mental. Kristen Scarlett dalam Psychology Today mengatakan, postpartum depression membuat seorang ibu merasa terputus hubungan dengan anak atau orang yang dikasihi, kehilangan kesenangan dalam aktivitas yang disukai, dan punya pikiran menyakiti bayi atau diri sendiri. Diagnosis ini sebenarnya umum terjadi.

“Faktanya, satu dari tujuh perempuan (di seluruh dunia) mengalaminya,” tulis Scarlett.

Disebutkan Bennett, penyebab utama postpartum depression karena penurunan hormonal yang sangat besar setelah bayi dilahirkan. Kondisi ini kemudian memengaruhi neurotransmitter (zat kimia otak).

“Ada juga faktor psikososial, seperti penyakit, dukungan pasangan yang buruk, kesulitan keuangan, dan isolasi sosial yang dapat berdampak negatif pada keadaan emosional perempuan,” kata Bennett.

“Kurang tidur dan kurangnya nutrisi yang tepat di otak juga akan berkontribusi menyebabkan postpartum depression.”

Bennett mengatakan, sangat penting mengobati postpartum depression. Jika tak diobati, gejalanya bisa menjadi kronis. Ia menyebut, 25% ibu yang tak diobati karena postpartum depression tetap mengalami depresi setelah setahun.

“Ada banyak alasan penting mengapa seorang ibu dengan postpartum depression harus mendapat pertolongan sesegera mungkin,” ujar Bennett.

“Jika tidak diobati, terdapat peningkatan risiko anak-anaknya mengalami gangguan kejiwaan, peningkatan risiko bagi perempuan tersebut mengalami depresi kronis atau kambuhan, dan terjadi dampak terhadap pernikahan dan hubungan dengan keluarga.”

Bahkan, penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal kedokteran JAMA Network Open pada Oktober 2023 menemukan, gejala depresi dapat muncul sejak trimester pertama kehamilan, bukan cuma setelah persalinan.

Dilansir dari The Straits Times, para peneliti dari Translational Neuroscience Programme di Singapore Institute for Clinical Sciences (SICS) di bawah Agency for Science, Technology and Research (A*Star) melibatkan 11.563 perempuan dari Britania Raya, Kanada, dan Singapura, dengan usia rata-rata 29 tahun, dan telah melahirkan antara tahun 1991 dan 2022.

Peneliti di SICS sekaligus penulis utama hasil riset itu, Michelle Kee, mengatakan kepada The Straits Times bahwa penelitian ini menemukan, perempuan punya gejala depresi yang stabil sejak kehamilan, baik gejala itu rendah, ringan, atau cukup tinggi—untuk kemungkinan didiagnosis sebagai depresi.

“Ini menunjukkan bahwa gejala depresi serius pada ibu tidak hanya terjadi setelah kelahiran, tetapi dapat dimulai selama kehamilan, dan mungkin tetap pada tingkat tersebut bahkan setelah kelahiran,” kata Kee, dikutip dari The Straits Times.

Konsultan senior di Departemen Kedokteran Psikologis Rumah Sakit KK Women’s and Children’s Hospital, Helen Chen, mengatakan kepada The Straits Times, sejumlah faktor dapat menyebabkan depresi selama kehamilan.

“Perempuan yang pernah mengalami depresi pada suatu waktu dalam hidup mereka, mungkin memiliki kekhawatiran tentang bagaimana mereka bisa mengatasi transisi menjadi seorang ibu,” kata Chen.

“Mereka yang mempunyai pengalaman masa kecil yang buruk, seperti kekerasan keluarga atau konflik pernikahan orang tua mungkin telah menghadirkan kenangan menyakitkan yang muncul kembali selama kehamilan.”

Penelitian itu menunjukkan, gejala depresi pada ibu dapat berdampak negatif terhadap nutrisi anak, kesehatan fisik, fungsi kognitif, perkembangan sosio-emosional, kesiapan sekolah, serta meningkatkan risiko kondisi kesehatan mental, seperti gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif dan depresi.

Terlepas dari itu, menurut Novy, dukungan emosional yang kuat sangat dianjurkan untuk seorang ibu pascamelahirkan. Mendorong mereka untuk mencari dukungan dari keluarga, pasangan, teman, profesional, atau kelompok ibu dapat membantu mengurangi beban emosional yang terkait dengan perubahan suasana hati setelah melahirkan.

Pemahaman akan perubahan fisik dan emosional juga penting. Memberikan informasi yang akurat kepada seorang ibu mengenai perubahan ini, membantu mereka mempersiapkan diri secara mental terhadap perubahan yang mungkin terjadi pascapersalinan.

“Terbuka mengenai perasaan yang dirasakan dapat membantu mengurangi beban emosional yang dirasakan,” kata Novy.

Dosen sekaligus Kepala Pusat Layanan Konsultasi Psikologi (PLKP) Universitas Muhammadiyah Bandung itu menekankan, peran support system punya nilai yang sangat penting.

“Dukungan yang kuat memberikan rasa nyaman, pengertian, serta memastikan bahwa ibu tidak merasa sendirian ketika menghadapi perubahan suasana hati dan kesulitan yang timbul setelah proses melahirkan,” tutur Novy.

Berita Lainnya
×
tekid