Sengkarut pencalonan mantan terpidana korupsi

Pengesampingan atau pembatalan suatu PKPU hanya bisa dilakukan bila ada putusan hasil uji materi oleh MA.

Rabu malam (5/6), tiga lembaga penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) bertemu untuk membahas isu yang tengah menjadi polemik dalam penyelenggaraan pemilu Indonesia.

Mereka berkumpul dalam forum tripartit penyelenggara pemilu untuk membahas sengkarut pencalonan mantan terpidana korupsi yang belum menemukan penyelesaian akibat KPU dan Bawaslu yang bersikukuh pada pendiriannya masing-masing.

Masalah ini bermula saat KPU menetapkan Peraturan KPU (PKPU) yang mengatur bahwa pencalonan legislatif 2019 baik dari jalur DPD maupun DPR dan DPRD tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi. Aturan yang tertuang dalam PKPU No. 14 Tahun 2018 untuk pencalonan anggota DPD dan PKPU No. 20 Tahun 2018 untuk pencalonan anggota DPR dan DPRD, meski sudah diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Kemenkumham, tetap mendapatkan perlawanan dari para bakal caleg, khususnya mantan terpidana korupsi. 

Kisruh makin meruncing ketika sejumlah Bawaslu di kabupaten/kota dan provinsi, membuat putusan sengketa proses pemilu yang meloloskan permohonan mantan terpidana korupsi, untuk menjadi bakal caleg (baik DPD maupun DPRD) Pemilu 2019. Putusan jajaran Bawaslu itu dibuat dengan merujuk pada UU dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan sama sekali tidak mempertimbangkan pengaturan yang ada dalam PKPU. Alasan mereka PKPU itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan semestinya tidak boleh menghilangkan hak konstitusional mantan terpidana korupsi. Pandangan Bawaslu, pencabutan hak untuk menjadi kandidat hanya boleh dilakukan oleh UU atau putusan pengadilan. 

Putusan jajaran Bawaslu tidak serta merta dilaksanakan KPU. Melainkan direspons dengan menunda ekesekusinya sampai ada Putusan Mahkamah Agung atas pengujian PKPU tersebut. KPU beralasan ketentuan Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 76 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur secara spesifik bahwa pengujian  atas atas pemberlakuan PKPU oleh pihak-pihak yang berkeberatan hanya bisa dilakukan melalui uji materi di Mahkamah Agung (MA). Sedangkan forum penyelesaian sengketa di Bawaslu bukanlah mekanisme yang tepat.