Unjuk kata

Sekian mahasiswa sudah bosan marah ke DPR dan pemerintah. Mereka memilih membuat pertunjukkan berbeda di kerumunan ribuan mahasiswa.

Bandung Mawardi

Indonesia sedang dilanda wabah kata di kubangan politik, hukum, dan asmara. Orang-orang di DPR dan pemerintah mengeluarkan kata-kata demi pengesahan sekian undang-undang. Cara mereka memberi penjelasan ke publik tampak pintar, santun, dan "merdu". Mereka memang bertugas dengan kata-kata sudah mengalami seleksi untuk diberikan ke publik bermaksud dimengerti dan dipatuhi. Orang-orang di pemerintah dan DPR tentu kaum terhormat, tak mungkin mereka asal berkata sembarangan. Martabat diri dan nasib Indonesia jadi taruhan.

Mereka dalam hitungan hari bekerja serius, mulus, dan "tulus" demi Indonesia. Kerja tak memerlukan istirahat. Pagi, siang, sore, malam, mereka terus bekerja. Waktu mepet tak memungkinkan mereka memberi telinga ke publik. Sibuk menjadikan telinga untuk mendengar dalam dialog atau diskusi dengan publik "terganggu".

Konon, mereka malah tak mau lagi menerima usulan, protes, nasihat, atau sindiran dari publik berkaitan pengesahan undang-undang dan kesembronoan merevisi Undang-Undang KPK. Mereka telah bekerja dan capek. Hari-hari terakhir masa dinas DPR ingin dikenang dengan tepuk tangan dan pujian gara-gara rajin mengesahkan undang-undang meski mendapat protes publik. Mereka pun panen kritik melalui demonstrasi atau unjuk rasa digelar di pelbagai kota, 23-25 September 2019.

Di kubu DPR dan pemerintah, kata-kata berselera politik dan hukum diproduksi menanggulangi semua protes. Mereka masih tampil bijak. Kita mungkin sempat melihat mereka angkuh dan marah. Ingat, mereka bekerja tanpa henti demi sekian undang-undang. Kerja demi kita dan Indonesia.

Mereka terus memberi penjelasan dan jawaban atas protes publik. Kata-kata mereka terasa tak ingin dibantah atau diralat. Mereka sudah terbiasa di permainan kata. Kita diharapkan maklum mendengar kata-kata mereka mengandung manipulasi atau muslihat. Kata-kata mereka sudah menjenuhkan dan berkemungkinan menambahi "marah" publik. Kita tetap saja harus maklum dan menghormati mereka selaku pemikul beban besar nasib Indonesia, dari hari ke hari. Kehormatan milik mereka. Khilaf tentu milik kita. Lakon politik memang menempatkan kita selalu di posisi rendah, salah, dan kalah.