DPR periode 2014-2019 disebut yang terburuk pascareformasi

Tak ada satu undang-undang yang terdaftar dalam Prolegnas yang rampung diselesaikan DPR periode 2014-2019.

Anggota komisi III DPR melakukan voting saat proses pemilihan calon Pimpinan KPK di Komisi III, komplek Parlemen, Senayan, Jakarta. Antara Foto

Direktur Eksekutif lembaga think-tank Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2014-2019 adalah yang terburuk pasca-reformasi.

Salah satu faktor penting yang menjadi tolak ukur penilaian negatif tersebut karena banyaknya Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) molor. Bahkan juga terkesan dipaksakan untuk selesai dengan sistem kebut semalam.

“Pertama dari agenda prolegnas yang dibuat sejak 2015 menyangkut UU apa saja yang akan diselesaikan oleh DPR, namun nyatanya tidak ada satu pun yang diselesaikan sampai masa bakti DPR periode tersebut berakhir per 1 Oktober kemarin,” kata Fabby sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (8/10).

Menurut dia, salah satu UU yang semestinya dapat diselesaikan dan tergolong penting ialah UU Minyak dan Gas (Migas). Dia menuturkan, UU Migas sudah tiga kali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Poin-poin yang digugat dalam UU tersebut pun rata-rata sudah obsolete atau usang.

"Sejak naskah akademiknya disusun dari 2006 lalu, UU ini tak kunjung disahkan. Ini yang membuat investasi sektor migas kita terus turun karena tidak adanya kepastian dari segi regulasi," katanya.