'Godok' RUU Cipker, DPR dianggap tak bersimpati

Parlemen melanjutkan pembahasan RUU Cipker saat darurat kesehatan masyarakat karena Covid-19.

Kompleks Parlemen, Jakarta, September 2019. Google Maps/Imam Adji Mauludi

Solidaritas Perempuan menganggap DPR tak memiliki simpati dan mengabaikan hak partisipasi rakyat. Pangkalnya, melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (RUU Cipker) saat negara menetapkan status darurat kesehatan masyarakat di tengah pandemi coronavirus baru (Covid-19).

“Ini juga menunjukkan, DPR memanfaatkan wabah Covid-19 untuk mempercepat proses pembahasan dan perumusan berbagai kebijakan yang selama ini mendapat penolakan dari masyarakat sipil. Di antaranya RUU Cipta Kerja, RUU Minerba, dan Revisi KUHP,” ujar Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Dinda Nuur Annisaa Yura, melalui keterangan tertulis yang diterima, Minggu (5/4).

Padahal, jelas dia, organisasi internasional yang mewadahi parlemen (Inter-Parliamentary Union/IPU) telah mengingatkan, situasi krisis seringkali menggoda legislative mengambil jalan pintas dan mengabaikan proses demokrasi atas nama kedaruratan. “Nampaknya,” menurut dia, “Peringatan ini diabaikan oleh DPR hingga terus melaju hanya untuk mengabdi pada kepentingan investasi.”

Dinda melanjutkan, RUU Cipker lebih berpihak kepada pengusaha dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan dalam berbagai pasal di dalamnya. Celakanya, privilese itu berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM). Termasuk terhadap perempuan yang selama ini sudah mengalami ketakadilan gender akibat budaya patriarki.

Empat masalah
Dirinya mengingatkan, RUU Cipker pun bermasalah sejak awal. Sumirnya informasi saat proses pembentuk, salah satunya. Sehingga, menimbulkan keresahan di masyarakat dan menuai penolakan dari berbagai elemen masyarakat.