KontraS: Perlindungan dan pemenuhan HAM semakin terancam

Legitimasi negara terhadap pelanggaran HAM tersebut muncul berupa tindakan langsung (by commission) maupun pembiaran (by omission).

Para pegiat HAM melakukan aksi unjuk rasa pada 2019. Foto Antara/dokumentasi

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai, selama satu tahun terakhir, perlindungan dan pemenuhan HAM semakin terancam. Ironisnya, ancaman justru hadir dalam bentuk legitimasi negara terhadap pelanggaran HAM yang terjadi setiap harinya di lapangan.

Legitimasi negara terhadap pelanggaran HAM tersebut muncul berupa tindakan langsung (by commission) maupun pembiaran (by omission). Dalam sektor hak sipil dan politik, kebebasan semakin menyusut. Terlihat dari banyaknya serangan dan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dalam ruang publik ataupun ruang digital dengan proses penegakan hukum yang sangat minim terhadap para pelaku.

Bahkan, pembatasan terhadap kebebasan berekspresi justru dilegitimasi oleh negara. Misalnya, melalui surat telegram Kapolri Nomor ST/110/IV/HUK.7.1/2020, yang berisi instruksi patrol siber terhadap pengkritik pemerintah. Di sisi lain, ada pula pembatasan kebebasan beragama/beribadah dengan legitimasi pemerintah melalui kebijakan diskriminatif yang menyudutkan kelompok minoritas.

“Masih dalam sektor hak-hak sipil dan politik, perbaikan sistem peradilan pidana masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak kunjung selesai, dengan masih maraknya praktik penyiksaan dalam sistem peradilan pidana serta pemberlakuan hukuman yang tidak manusiawi dan melanggar Konvensi Anti Penyiksaan seperti hukum cambuk di Aceh dan pemberlakuan hukuman mati bagi beberapa tindak pidana,” ujar Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dalam keterangan tertulis, Kamis (10/12).

Di sektor hak ekonomi, sosial, dan budaya, Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Cipta Kerja secara substansi telah memundurkan agenda desentralisasi, merusak lingkungan, serta mengurangi jaminan kesejahteraan pekerja. Proses legislasi dua undang-undang kontroversi tersebut minim partisipasi publik berdalih pandemi Covid-19.