Mendagri dikritik atas aturan penggunaan PeduliLindungi

Sanksi terhadap seseorang yang tidak menggunakan PeduliLindungi dianggap tidak tepat.

Foto ilutrasi seseorang dipidana/Pixabay.

Institute for Criminal Justice Reforme (ICJR) mengkritisi rencana pemerintah menerapkan sanksi pidana bagi masyarakat yang tak menggunakan aplikasi PeduliLindungi. Menurut ICJR, penggunaan sanksi pidana untuk penanggulangan Covid-19 menunjukkan kesemerawutan dan diskriminatif.

"Hal ini merupakan kesalahan yang lagi-lagi dilakukan pemerintah, yang terus mempromosikan penggunaan ancaman sanksi pidana untuk menjamin kepatuhan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19," kata peneliti ICJR Genoveva Alicia dalam keterangannya kepada Alinea.id, Rabu (22/12).

Untuk diketahui, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengeluarkan edaran yang menginstruksikan kepala daerah mengeluarkan peraturan kepala daerah (Perkada) mengenai penegakan penggunaan aplikasi PeduliLindungi di ruang publik pada Selasa (21/12). Menurut Tito, Perkada ini nantinya akan menjadi dasar penerapan sanksi administrasi bagi pelaku usaha yang tidak menggunakan aplikasi PeduliLindungi.

Selanjutnya, Tito menyatakan Perkada akan mengikat masyarakat. Tito juga menginstruksikan, setelah periode Natal dan Tahun Baru, pemerintah daerah dapat menaikkan status Perkada menjadi Peraturan Daerah (Perda). Hal itu bertujuan, agar sanksi selain administratif dapat diterapkan termasuk sanksi pidana.

Menurut Genoveva, penerapan sanksi pidana harus dipikirkan dengan matang, seksama dan proporsional. Sebelumnya, kata dia, pemerintah pernah menerapkan sanksi pidana bagi pelanggar PPKM berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 16 Tahun 2021. Instruksi itu menyebutkan, pelanggar PPKM dapat dikenai sanksi pidana melalui berbagai macam instrumen hukum, yakni pasal 212 sampai dengan pasal 218 KUHP, pasal pidana dalam UU Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, pasal pidana dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Perda, Perkada, dan ketentuan lain.