Misi kilat mengisi kekosongan jabatan kepala daerah

Imbas dari pemilu serentak pada 2024, ada ratusan kekosongan pejabat kepala daerah pada 2022 dan 2023.

Ilustrasi kepala daerah. Alinea.id/Aisya Kurnia.

Bulan lalu, Koordinator Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) Eny Rochyati bersama seorang warga Jakarta dan empat warga Papua mengajukan permohonan uji materil pasal pengangkatan penjabat kepala daerah di Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Bagi Eny dan kawan-kawannya, pengangkatan penjabat kepala daerah untuk mengganti kepala daerah definitif yang habis masa tugasnya pada 2022 dan 2023 sebagai imbas pemilihan umum (pemilu) serentak 2024 bermasalah.

Sebab, tak sesuai Pasal 18 ayat 4 UUD 1945, yang berbunyi gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Ia khawatir, penjabat kepala daerah yang ditunjuk Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tidak akan melaksanakan janji politik kepala daerah sebelumnya.

“Dia (penjabat kepala daerah) akan bertanggung jawab pada siapa yang mengangkatnya,” ujar Eny kepada Alinea.id, Senin (4/4).

“Sebagai warga negara, saya merasa tidak mendapatkan hak untuk menentukan pilihan saya dan ini pelanggaran konstitusional.”