sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Misi kilat mengisi kekosongan jabatan kepala daerah

Imbas dari pemilu serentak pada 2024, ada ratusan kekosongan pejabat kepala daerah pada 2022 dan 2023.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 07 Apr 2022 06:39 WIB
Misi kilat mengisi kekosongan jabatan kepala daerah

Bulan lalu, Koordinator Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) Eny Rochyati bersama seorang warga Jakarta dan empat warga Papua mengajukan permohonan uji materil pasal pengangkatan penjabat kepala daerah di Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Bagi Eny dan kawan-kawannya, pengangkatan penjabat kepala daerah untuk mengganti kepala daerah definitif yang habis masa tugasnya pada 2022 dan 2023 sebagai imbas pemilihan umum (pemilu) serentak 2024 bermasalah.

Sebab, tak sesuai Pasal 18 ayat 4 UUD 1945, yang berbunyi gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Ia khawatir, penjabat kepala daerah yang ditunjuk Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tidak akan melaksanakan janji politik kepala daerah sebelumnya.

“Dia (penjabat kepala daerah) akan bertanggung jawab pada siapa yang mengangkatnya,” ujar Eny kepada Alinea.id, Senin (4/4).

“Sebagai warga negara, saya merasa tidak mendapatkan hak untuk menentukan pilihan saya dan ini pelanggaran konstitusional.”

Khawatir program terbengkalai

Pemerintah dan DPR sudah menyetujui pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) dihelat serentak pada 2024. Akibatnya, pada 2022 dan 2023 ada 272 kepala daerah yang habis masa jabatannya. Eny dan koleganya memohon kepada MK agar masa jabatan kepala daerah petahana diperpanjang hingga Pemilu 2024.

Incumbent (petahana) adalah pilihan warga dan mempunyai janji politik yang belum selesai,” tuturnya.

Sponsored

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian tengah melakukan rapat koordinasi dengan kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pilkada serentak 2020 secara virtual, Rabu (14/4/2021). Foto Pusat Penerangan Kemendagri/kemendagri.go.id.

Eny mengatakan, ada beberapa program kolaborasi antara JRMK dengan Pemprov DKI Jakarta yang terancam terhenti, jika gubernur diganti dengan penjabat kepala daerah. Salah satu program kolaborasi yang dimaksud Eny, yakni perubahan tata ruang untuk menata permukiman kumuh di Jakarta.

“Saat ini kita sedang mengusulkan perubahan status menjadi R.1 (zona perumahan kampung) dan persoalan status tanah juga belum selesai, sedang dikaji di GTRA (Gugus Tugas Reforma Agraria),” kata Eny.

“Kalau gubernurnya ganti, ya semua tidak akan berubah dan kampung-kampung JRMK terancam digusur karena dituduh menyerobot lahan orang lain dengan status yang tidak jelas.”

Selain itu, kewenangan penjabat kepala daerah yang terbatas juga dipandang Eny berpotensi membuat program yang sudah dieksekusi bakal terbengkalai. Terutama program yang bersentuhan langsung dengan warga.

"Kami sebagai warga merasa dirugikan," kata Eny.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Benny Irwan menjelaskan, masalah kekosongan jabatan kepala daerah bakal diisi penjabat kepala daerah setingkat eselon I untuk gubernur dan eselon II untuk bupati atau wali kota.

Dalam penunjukan penjabat kepala daerah, lanjut Benny, Kemendagri bakal mengacu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Lalu, soal kriteria penjabat kepala daerah yang ditunjuk, Benny mengungkapkan, Kemendagri akan mengacu Pasal 130 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Benny menegaskan, selain menduduki jabatan eselon I atau II, penjabat kepala daerah harus punya pengalaman di bidang pemerintahan. Kemudian, tak punya catatan buruk dan memiliki penilaian kerja yang baik dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.

“Pengisiannya (penunjukan) bakal dilaksanakan sesuai waktu akhir masa jabatan masing-masing kepala daerah definitif,” kata Benny, Selasa (5/4).

Secara umum, kata Benny, tugas dan wewenang penjabat kepala daerah sama saja dengan kepala daerah definitif. Hanya saja, dalam melaksanakan tugas dan wewenang, ada pembatasan mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Menurut dia, batasan itu, antara lain tak boleh melakukan mutasi pegawai, tak boleh membatasi perizinan yang sudah ditetapkan kepala daerah sebelumnya atau mengeluarkan kebijakan yang bertentangan, tak boleh membuat kebijakan tentang pemekaran daerah, serta tak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan kepala daerah sebelumnya.

Kendati demikian, Benny menyebut, empat batasan tersebut bisa dikecualikan kalau mendapatkan persetujuan dari Mendagri.

Di samping itu, Benny menuturkan, Kemendagri juga telah menerbitkan Instruksi Mendagri Nomor 70 Tahun 2021 tentang Penyusunan Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah bagi Daerah dengan Masa Jabatan Kepala Daerah Berakhir Tahun 2022 pada Jumat (7/1) lalu.

“Yang mengamanatkan daerah agar menyusun dokumen Rencana Pembangunan Daerah (RPD) untuk tahun 2023 sampai 2026,” ujarnya.

Nantinya, dokumen RPD menjadi rujukan utama untuk menyusun APBD bagi semua pejabat pemerintah daerah, agar tak melenceng dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) ketika dipimpin penjabat kepala daerah.

Benny menilai, segala perangkat hukum yang ada sudah cukup mengatur tata kelola kepemimpinan penjabat kepala daerah. Sehingga bisa dijadikan sebagai acuan teknis penjabat kepala daerah.

Tantangan penjabat kepala daerah

Presiden Joko Widodo memberikan sejumlah arahan kepada para gubernur se-Indonesia terkait penanganan Covid-19 hingga Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di Hotel Novotel, Balikpapan, Kalimantan Timur, Minggu (13/3/2022). Foto BPMI Setpres/Muchlis Jr/setkab.go.id.

Sementara itu, anggota Komisi II DPR dari fraksi PKS, Mardani Ali Sera berpendapat, penunjukan penjabat kepala daerah oleh Mendagri harus dilakukan secara transparan.

"Dan jelaskan apa alasan pemilihan penjabat bersangkutan," kata Mardani, Selasa (5/4).

Ia menyarankan kepada Kemendagri agar memberi kesempatan lebih banyak bagi pejabat pemerintah daerah berkarier cemerlang untuk mengisi jabatan setingkat gubernur. Sehingga tak hanya “memanjakan” pejabat pemerintah pusat eselon I atau II.

"Bagus jika ada seleksi dan rekrutmen yang akuntabel. Lihat track record yang bersangkutan,” ujarnya.

“Terapkan merit system (sistem prestasi), jangan cuma karena kedekatan. Apalagi (hanya melihat) afiliasi politiknya."

Senada dengan Mardani, peneliti senior Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Arman Suparman juga menekankan masalah transparansi dan akuntabel dalam pengangkatan penjabat kepala daerah. Ia pun menyarankan ada partisipasi warga untuk memberi penilaian.

"Harus dilihat kandidat-kandidat yang memiliki kapasitas atau kompetensi di bidang itu,” ucap Arman, Selasa (5/4).

“Jangan sampai fokusnya untuk mengamankan pemilu, tapi pada sisi teknokrasi kebijakan itu juga mesti diperhatikan."

Ia mengatakan, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 memang diatur persyaratan penjabat gubernur yang mesti dari jabatan tinggi madya berasal dari kementerian. Sedangkan untuk bupati dan wali kota diambil dari pejabat tingkat pratama setingkat provinsi.

“Tapi enggak diatur soal mekanismenya seperti apa,” tuturnya.

Oleh karenanya, Arman memandang, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 perlu ada aturan turunan yang merinci mekanisme dan wewenang penjabat kepala daerah.

"Dalam konteks aturan teknis itu, harus ditegaskan oleh Kemendagri,” ujarnya.

“Jangan sampai penjabat ini mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak selaras atau bertentangan dengan visi-misi para kepala daerah sebelumnya."

Kemendagri, kata Arman, harus bergerak cepat menyusun aturan teknis penjabat kepala daerah. Sebab, waktu untuk menunjuk penjabat kepala daerah kian mepet.

"Ini sudah bulan April, dan bulan Mei itu ada beberapa kepala daerah yang selesai (masa tugasnya),” kata dia.

Lebih lanjut, menurutnya, harus ada sejumlah kriteria yang mesti diukur secara berimbang dalam penunjukan. Sehingga bisa menghasilkan penjabat kepala daerah yang mumpuni dan tak asal dipilih atas pertimbangan suka atau tidak suka.

Tak kalah penting, ujar Arman, adalah memastikan kompetensi para penjabat kepala daerah dalam melaksanakan kebijakan pemerintah pusat, yang mesti dijalankan dua tahun ke depan.

Berdasarkan catatan KPPOD, dituturkan Arman, setidaknya ada dua undang-undang yang harus segera dilaksanakan pemerintah daerah, yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Infografik kepala daerah. Alinea.id/Aisya Kurnia.

“Tantangan para penjabat kepala daerah itu mesti memiliki kapasitas dan integritas untuk merespons kebijakan-kebijakan tadi pada level daerah,” kata dia.

Menurut Arman, banyak hal yang mesti ditindaklanjuti pemerintah daerah dalam mewujudkan amanat UU Cipta Kerja. Salah satunya terkait kebijakan perubahan tata ruang di daerah.

"Masih mengalami kendala, baik dari segi dukungan kapasitas SDM (sumber daya manusia) dan finansial,” ucap dia.

Sementara dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, kata dia, mengamanatkan revisi atas perda retribusi. “Itu semua harus ditindaklanjuti daerah selama dua tahun ke depan," kata Arman.

Arman pun mengingatkan soal porsi kewenangan penjabat kepala daerah yang tidak bertentangan dengan RPJMD, yang sudah disusun kepala daerah definitif. Di samping itu, tidak melakukan perombakan besar di tataran pemerintah daerah agar tak memicu konflik yang bisa mengganggu pembangunan.

"Kami dorong para penjabat ini tetap melanjutkan visi-misi kepala daerah yang sudah selesai,” katanya.

“Dalam hal ini terutama soal interaksi dia dengan DPRD.”

Berita Lainnya
×
tekid