Pemerintah didesak tarik pidana khusus dari RKUHP

Aliansi ini menganalisis paling tidak empat tindak pidana khusus akan terganggu jika dimasukkan ke RKUHP.

Aliansi nasional reformasi KUHP meminta pemerintah menarik pidana khusus dari Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). (Annisa Saumi/Alinea)

Aliansi nasional reformasi KUHP menggelar jumpa pers hari Minggu (3/6) di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan. Aliansi yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Pesaudaraan Korban NAPZA Indonesia (PKNI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat ini menilai pemerintah tak perlu tergesa-gesa untuk mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

Aliansi ini menganalisis paling tidak empat tindak pidana khusus akan terganggu jika dimasukkan ke RKUHP. Keempat jenis tindak pidana khusus tersebut adalah narkotika dan psikotropika, lingkungan hidup, korupsi, dan pelanggaran HAM berat.

Alviana, Pelaksana Advokasi Hukum Pesaudaraan Korban NAPZA Indonesia (PKNI) mengatakan narkotika sebagai tindak pidana khusus tidak bisa dimasukkan ke KUHP. "Jika KUHP diterapkan, hanya ada pendekatan hukuman untuk menangani NAPZA, yang sudah terbukti gagal di banyak negara," ujarnya.

Pendekatan pidana, menurut Alviana, hanya akan mengganggu pekerjaan yang sudah dilakukan oleh lembaga dan kementerian terkait, serta masyarakat sipil, utamanya ke persoalan penanganan pengguna narkoba.

Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi KontraS Putri Kanesia mengatakan penerapan RKUHP hanya akan menghambat penuntasan kasus pelanggaran HAM yang efektif. "Dari namanya saja sudah berubah menjadi tindak pidana berat, bukan pelanggaran HAM berat," keluh Putri.