Putusan MK pertegas wewenang presiden tegakkan hukum

"Bahaya juga kalau [penanganan kasus korupsi] diserahkan pada satu organ saja."

Putusan MK yang menolak penghapusan pengusutan kasus korupsi oleh kejaksaan dinilai mempertegas wewenang presiden dalam menegakkan hukum. Google Maps/Sigit Dwihartono

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang (UU) Kejaksaan; Pasal 39 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor); serta Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa "atau Kejaksaan", Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa "atau Kejaksaan", dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa "dan/atau kejaksaan" UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau penghapusan kewenangan kejaksaan mengusut kasus korupsi. Permohonan tersebut diajukan M. Yasin Djamaludin, kuasa hukum dua tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat di Kabupaten Mimika, Johannes Rettob dan Silvi Herawaty.

Pertimbangannya, prinsip diferensiasi fungsional dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara faktual, realita kebutuhan, dan kemanfaatan belum dapat dilakukan secara utuh. Karenanya, pembentuk undang-undang memberikan kewenangan melakukan penyidikan kasus korupsi kepada kepolisian, Kejaksaan, dan KPK.

Hakim Konstitusi, M. Guntur Hamzah, menyampaikan, Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan hanya pintu masuk bagi pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada "Korps Adhyaksa" menyidiki tindak pidana khusus dan/atau tertentu. Namun, tindak pidana umum menjadi kewenangan penyidik kepolisian. Dengan demikian, MK berpendapat, kewenangan kejaksaan mengusut kasus korupsi masih diperlukan, apalagi jenis maupun modusnya kian beragam selain guna mempercepat penanganannya demi kepastian hukum bagi pelaku serta memenuhi rasa keadilan masyarakat.

"Oleh karena itu, menurut Mahkamah terhadap Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [serta] Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa 'atau Kejaksaan', Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa 'atau Kejaksaan', dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa 'dan/atau Kejaksaan' Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang secara yuridis kekuatan keberlakuannya memiliki keterkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan dengan ketentuan norma Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan. Maka, hal ini memiliki landasan konstitusional. Dengan demikian, dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum," tuturnya dalam sidang putusan, Selasa (16/1).

Guntur melanjutkan, pasal-pasal yang diujikan Yasin adalah norma yang mengatur hal yang berhubungan dengan kewajiban kolaborasi antarlembaga penegak hukum dalam menangani kasus korupsi. Apalagi, pembentuk undang-undang memandang kasus korupsi sebagai kejahatan luas biasa dengan dimensi persoalan krusial sehingga tidak dapat dilakukan satu institusi saja.