UU TPKS dan urgensi unit PPA naik kelas

Kehadiran UU TPKS harus dibarengi peningkatan kualitas penangana kasus kekerasan seksual.

Sejumlah polisi wanita (polwan) menuntun seorang nenek menyeberang jalan saat pembagian masker gratis di Kota Gorontalo, Gorontalo, Rabu (22/4/2020). /Foto Antara

Setelah enam tahun dibahas dan memunculkan beragam polemik, DPR RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi UU. Beleid itu disahkan dalam sidang paripurna yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pertengahan April lalu.

Dipimpin langsung Ketua DPR RI Puan Maharani, pengesahan UU yang dibahas melibatkan lebih dari seratus kelompok masyarakat sipil tersebut berjalan tanpa kendala. Tak ada lagi fraksi yang menolak muatan UU yang terdiri dari 8 bab dan 93 pasal itu. 

"Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah hasil kerja sama bersama. Ini sekaligus komitmen bersama kita supaya tidak ada ruang bagi kekerasan seksual," ujar Puan setelah mengetok palu tanda pengesahan UU tersebut.

Tercantum dalam Pasal 4 ayat 1 UU TPKS, setidaknya ada 9 kejahatan yang masuk dalam kategori tindak pidana seksual, yakni pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. 

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej memastikan UU tersebut tidak akan tumpang tindih dengan UU lainnya. Ia mencontohkan rumusan aborsi dan perkosaan yang "sengaja" tidak dibahas detail dalam UU tersebut.