Soal keputusan MK, PSHK desak Anwar Usman mundur

Kepemimpinannya justru menjadikan MK menjelma sebagai lembaga yang tidak independen.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) saat menemui wartawan usai Sidang Pleno Khusus Penyampaian Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi 2019 di MK, Jakarta Pusat, Selasa (28/1/2020). Alinea.id/dokumentasi.

Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan tentang pengujian syarat menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden untuk perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, 55/PUU-XXI/2023, 90/PUU-XXI/2023, 91/PUU-XXI/2023, dan 92/PUU-XXI/2023 pada Senin (16/10).

Pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dengan menafsirkan syarat calon presiden dan wakil presiden menjadi, “...berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”

"Pertimbangan dan amar putusan yang diberikan membuat MK “makin kesasar” alias tersesat," kata Deputi Direktur Eksekutif PSHK Fajri Nursyamsi, dalam keterangan resminya, Selasa (17/10).

Fajri pun mengungkapkan beberapa alasan sehingga menyebut MK tersesat. Pertama, MK dinilai telah menggadaikan kredibilitas dan muruahnya sebagai the guardian of the constitution dengan bersikap inkonsisten karena para hakim konstitusi yang mengabulkan permohonan pemohon secara drastis berubah pandangan.

Para hakim tersebut sebelumnya menolak tegas permohonan pemohon Putusan Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 dengan alasan pengujian bukan merupakan persoalan konstitusional, melainkan open legal policy, tetapi pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang secara substansi mempersoalkan hal yang sama, malah mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian dan memberikan tambahan norma baru pada syarat calon presiden dan wakil presiden.