Soal politik uang, Bawaslu: UU Pilkada lebih baik ketimbang UU Pemilu

Di UU Pilkada, pemberi maupun penerima dapat dijerat hukum. Namun, dalam UU Pemilu hanya pemberi yang dapat dijerat.

Pekerja menyelesaikan pesanan alat peraga kampanye sejumlah calon anggota legislatif (Caleg) dari berbagai partai politik peserta Pemilu 2019 di Kemayoran, Jakarta, Jumat (28/9). Antara Foto

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Abhan, mengatakan peraturan terkait dengan politik uang dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu tidak progresif dalam mencegah politik uang pada pemilu serentak 2019. Menurut Abhan, justru UU No. 10/2016 tentang Pilkada lebih progresif dibandingkan UU Pemilu.

“Dalam UU Pilkada, baik pemberi maupun penerima dapat dijerat sebagai tindak pidana pemilu. Namun, dalam UU Pemilu hanya pemberi yang dapat dipidanakan,” kata Abhan dalam diskusi di Jakarta pada Senin, (8/10).

Selain itu, lanjut Abhan, subjek pelaku politik uang di UU Pemilu dan UU Pilkada ternyata berbeda. Di UU Pilkada, semua pihak yang melakukan politik uang dapat dijerat secara hukum. Hal tersebut tidak hanya berlaku bagi tim suksesnya saja, melainkan siapa pun yang terlibat.

Namun, di UU Pemilu dibedakan dalam tiga fase. Pada fasepertama atau masa kampanye, mereka yang bisa dijerat adalah pelaksana tim kampanye atau tim suksesnya. Begitu pula pada fase masa tenang. Pada masa pencoblosanlah baru semua pihak yang melakukan politik uang dapat dijerat.

Hal lainnya yakni terkait mahar politik, kata Abhan, meskipun dilarang sayangnya tidak ada sanksi pidana. Sementara untuk menjatuhkan sanksi administrative, dibutuhkan ketetapan hukum pidana yang telah mengikat.