UU Cipta Kerja: Demi investasi, mengebiri kewenangan pemda

Bukan hanya diprotes buruh, substansi UU Cipta Kerja menuai sorotan pemda.

Ilustrasi kepala daerah menolak UU Cipta Kerja. Alinea.id/Oky Diaz.

RUU Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang, melalui rapat paripurna DPR pada 5 Oktober 2020. Setelah itu, terjadi gelombang protes dari berbagai elemen buruh dan mahasiswa. DPR pun sudah menyerahkan draf final UU Cipta Kerja kepada Presiden Jokowi pada 14 Oktober 2020.

Selain ditolak buruh dan mahasiswa, UU kontroversial itu memicu respons dari beberapa kepala daerah. Tercatat, ada enam gubernur yang menyurati Presiden Jokowi atau memberi pernyataan secara lisan, antara lain Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno.

Kemudian Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. UU Cipta Kerja juga mendapat penolakan dari dua wali kota dan tujuh bupati. Selain menyuarakan aspirasi buruh, respons kepala daerah didorong substansi UU Cipta Kerja yang cenderung menggerus kewenangan pemerintah daerah (pemda).

Ada beberapa pasal terkait hal itu dalam UU Cipta Kerja versi 812 halaman. Misalnya, pasal 17 mengubah sejumlah ketentuan dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang secara umum mengikis wewenang pemerintah daerah terkait tata ruang.

Sementara di pasal 18 ayat 1 disebutkan, penetapan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan rencana detail tata ruang, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari pemerintah pusat.