Tragedi Kanjuruhan, Amnesty Internasional: Tindakan represif aparat tak bisa dibenarkan 

Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat negara berdampak langsung pada hak untuk hidup.

Aparat keamanan menembakkan gas air mata untuk menghalau suporter yang masuk ke lapangan usai pertandingan BRI Liga 1 antara Arema kontra Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jatim, pada Sabtu (1/10/2022). Foto Antara/Ari Bowo Sucipto

Amnesty International Indonesia menilai, tindakan represif aparat kepolisian dalam menangani massa pada tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada Sabtu (1/10) malam, perlu diusut tuntas. Apalagi, mengakibatkan setidaknya 129 orang meninggal dunia.

Tragedi berawal dari kekecewaan suporter Arema FC atas kekalahan tim kesayangannya dari Persebaya dengan skor 3-2. Aremania lalu turun ke lapangan dan diduga menyerang pemain dan official Arema juga aparat.

Hal ini kemudian memicu aparat keamanan menembakkan gas air mata ke arah tribun suporter Arema dan membuat para penonton berdesakan membubarkan diri ke luar stadion sehingga terjadi penumpukan massa.

"Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan negara untuk mengatasi atau mengendalikan massa seperti itu tidak bisa dibenarkan sama sekali. Ini harus diusut tuntas. Bila perlu, bentuk segera tim gabungan pencari fakta (TGPF)," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangannya, Minggu (2/10).

Usman menuturkan, tragedi tersebut mengingatkan pada tragedi sepak bola serupa di Peru pada 1964. Saat itu, lebih dari 300 orang tewas akibat tembakan gas air mata yang diarahkan polisi kepada kerumunan massa.