Benarkah iklan peserta pemilu di medsos agak susah diselidiki?

Peserta pemilu cenderung hanya memberikan pelaporan kepada penyelenggara pemilu terkait akun official.

Ilustrasi dana sumbangan untuk kampanye pemilu. Alinea.id/Marzuki Darmawan

We Are Social pada awal 2023 mengungkapkan, kalau jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 167 juta orang pada Januari 2023. Jumlah tersebut setara dengan 60,4% dari populasi di dalam negeri. Walaupun pastinya, tidak semua pengguna sosial media tersebut memiliki hak pilih.

Tetapi tentunya tingginya pengguna sosial media di Indonesia, menjadi alasan bagi peserta pemilu, baik pasangan calon presiden-wakil presiden dan partai politik, untuk masuk dan berkampanye di media sosial. Peserta pemilu berharap dengan melakukan kampanye di sosial media bisa meningkatkan elektabilitas dan untuk mengevaluasi citra peserta pemilu di media sosial.

Oleh karena itu, tidak heran jika akhir-akhir ini, kita bisa melihat dan mendapati iklan kampanye dan konten kampanye berseliweran di timeline medsos. Hal itu tidak hanya dilakukan oleh akun resmi peserta pemilu, tetapi juga akun tidak resmi. Yang menyebabkan sulitnya penyelenggara pemilu ataupun masyarakat madani menghitung besaran dana kampanye yang dihabiskan peserta pemilu di media sosial.

Terkait itu, setiap peserta pemilu telah diharuskan untuk melaporkan dana kampanyenya. Baik di awal (Laporan Awal Dana Kampanye/LADK), selama proses kampanye (Laporan Penerimaan dan Sumbangan Dana Kampanye/LPSDK) dan diakhir (Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye/LPPDK). 

Peneliti dan Senior Program Officer Perludem Heroik M. Pratama mengatakan, selama ini, dana kampanye penerimaannya bersumber dari dana legal untuk menunjang aktivitas kampanye, seperti beriklan di media sosial. Tetapi, berdasarkan pengalaman dari pemilu ke pemilu, iklan di media sosial agak sulit dijamah alias susah untuk selidiki.