Kritik sistem pemilu serentak, Pengamat: Demokrasi tak perlu murah

Mochamad Nurhasim mempertanyakan target yang hendak dicapai dari penggunaan sistem pemilu secara serentak.

Petugas memeriksa surat suara pemilu. Antara Foto

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochamad Nurhasim, mengkritik sistem pemilihan umum atau pemilu yang dilakukan secara serentak. Dia mempertanyakan target yang hendak dicapai dari penggunaan sistem pemilu yang demikian. 

Menurut Nurchasim, dengan adanya pemilu dilakukan secara serentak dari mulai pemilihan presiden atau pilpres hingga pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi dan Kabupaten atau Kota membuat para peserta, khususnya pemilih jadi tak fokus. Sebab, pemilih akan lebih terkonsentrasi pada pilpres.

"Pilpres menjadi dominan dan pileg kurang memperoleh perhatian peserta dan pemilih. Pertanyaannya kan apa yang ingin dicapai dengan keserentakan pemilu? Efisiensi dana sepakat gak ada," kata Nurchasim di Jakarta, Minggu (2/2).

Nurhasim menuturkan, meskipun dilakukan secara serentak, nyatanya tak membuat anggaran efisien. Karena itu, menurut dia, alih-alih bisa tercipta efisiensi, sebaiknya yang justru perlu diperhatikan serius adalah soal kualitas sistem dan produk pemilu. 

"Saya diskusi dengan teman-teman di Bawaslu, demokrasi tidak perlu murah, enggak ada demokrasi yang murah. Yang dibutuhkan adalah tingkat efisiensinya, tetapi apakah pemilu menjamin kemudahan dan menjamin kualitas?" ucap Nurhasim.