Badan Industri Mineral Nasional hadir mengelola nikel, bauksit, hingga rare earth untuk hilirisasi, kedaulatan, dan kesejahteraan rakyat.
Pembentukan Badan Industri Mineral Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto merupakan momentum strategis dalam sejarah pengelolaan sumber daya mineral Indonesia. Dengan potensi mineral strategis yang hampir seluruhnya berada di tanah air—mulai dari nikel, bauksit, hingga tanah jarang—kehadiran lembaga ini menjanjikan arah baru untuk memastikan kekayaan alam dikelola sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.
Desain regulasi: Antara harapan dan keharusan
Keberhasilan Badan Industri Mineral sangat ditentukan oleh kualitas kerangka regulasi yang melandasinya. Secara normatif, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang kemudian direvisi melalui UU No. 3 Tahun 2020 telah memberikan fondasi hukum dalam pengelolaan sumber daya mineral. Namun, kehadiran badan baru ini memerlukan aturan turunan yang lebih spesifik agar tidak sekadar menjadi “tambahan lembaga,” melainkan benar-benar bekerja sebagai motor penggerak kedaulatan mineral strategis. Kewenangan yang jelas, prosedur koordinasi lintas kementerian yang efektif, serta relasi yang terukur dengan BUMN dan sektor swasta mutlak diperlukan. Tanpa pengaturan yang tegas, badan ini berisiko terjebak dalam tumpang tindih kewenangan, bahkan bisa berubah menjadi birokrasi tambahan yang justru menghambat investasi dan hilirisasi mineral.
Pengalaman Indonesia dalam regulasi sektor nikel dapat dijadikan cermin. Sejak diberlakukannya larangan ekspor bijih nikel mentah (raw ore) pada 2020, Indonesia berhasil mendorong tumbuhnya industri smelter dan menarik investasi besar dari Tiongkok, Korea Selatan, dan negara lain. Namun, kebijakan ini juga memunculkan gugatan di WTO karena dianggap diskriminatif, dan pemerintah akhirnya kalah dalam sengketa tersebut. Kasus ini menunjukkan bahwa tanpa desain regulasi yang konsisten dan berbasis kepentingan nasional, Indonesia rentan menghadapi tekanan global, baik melalui instrumen perdagangan internasional maupun diplomasi ekonomi. Sementara itu, di sektor bauksit, larangan ekspor yang diterapkan pada 2023 belum menunjukkan dampak signifikan karena keterbatasan kapasitas smelter dalam negeri. Hal ini menandakan adanya kesenjangan antara regulasi dan kesiapan industri nasional.
Jika dibandingkan dengan negara lain, misalnya Codelco di Chile atau Vale di Brasil, terdapat pelajaran penting bagi Indonesia. Codelco, sebagai perusahaan milik negara, beroperasi dengan kerangka regulasi yang jelas di bawah pengawasan pemerintah namun tetap memiliki otonomi manajerial. Dengan begitu, Codelco berhasil menguasai industri tembaga dunia dan menjadi penyumbang utama pendapatan negara. Vale di Brasil pun memperlihatkan model di mana sinergi antara badan negara, riset, dan industri dapat meningkatkan daya saing global. Indonesia melalui Badan Industri Mineral Nasional dapat belajar dari kedua contoh tersebut: bukan sekadar membentuk badan baru, tetapi memastikan adanya sinkronisasi regulasi, tata kelola yang transparan, dan arah pembangunan industri berbasis mineral yang konsisten.