close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pengajar Hukum Pertambangan dan Sumber Daya Mineral;
Peneliti pada Pusat Riset Hukum, BRIN, Ismail Rumadan. Foto dokumentasi.
icon caption
Pengajar Hukum Pertambangan dan Sumber Daya Mineral; Peneliti pada Pusat Riset Hukum, BRIN, Ismail Rumadan. Foto dokumentasi.
Peristiwa
Selasa, 23 September 2025 19:09

Badan Industri Mineral: Menjaga kedaulatan dan menjawab tantangan global

Badan Industri Mineral Nasional hadir mengelola nikel, bauksit, hingga rare earth untuk hilirisasi, kedaulatan, dan kesejahteraan rakyat.
swipe

Pembentukan Badan Industri Mineral Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto merupakan momentum strategis dalam sejarah pengelolaan sumber daya mineral Indonesia. Dengan potensi mineral strategis yang hampir seluruhnya berada di tanah air—mulai dari nikel, bauksit, hingga tanah jarang—kehadiran lembaga ini menjanjikan arah baru untuk memastikan kekayaan alam dikelola sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945.

Desain regulasi: Antara harapan dan keharusan

Keberhasilan Badan Industri Mineral sangat ditentukan oleh kualitas kerangka regulasi yang melandasinya. Secara normatif, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang kemudian direvisi melalui UU No. 3 Tahun 2020 telah memberikan fondasi hukum dalam pengelolaan sumber daya mineral. Namun, kehadiran badan baru ini memerlukan aturan turunan yang lebih spesifik agar tidak sekadar menjadi “tambahan lembaga,” melainkan benar-benar bekerja sebagai motor penggerak kedaulatan mineral strategis. Kewenangan yang jelas, prosedur koordinasi lintas kementerian yang efektif, serta relasi yang terukur dengan BUMN dan sektor swasta mutlak diperlukan. Tanpa pengaturan yang tegas, badan ini berisiko terjebak dalam tumpang tindih kewenangan, bahkan bisa berubah menjadi birokrasi tambahan yang justru menghambat investasi dan hilirisasi mineral.

Pengalaman Indonesia dalam regulasi sektor nikel dapat dijadikan cermin. Sejak diberlakukannya larangan ekspor bijih nikel mentah (raw ore) pada 2020, Indonesia berhasil mendorong tumbuhnya industri smelter dan menarik investasi besar dari Tiongkok, Korea Selatan, dan negara lain. Namun, kebijakan ini juga memunculkan gugatan di WTO karena dianggap diskriminatif, dan pemerintah akhirnya kalah dalam sengketa tersebut. Kasus ini menunjukkan bahwa tanpa desain regulasi yang konsisten dan berbasis kepentingan nasional, Indonesia rentan menghadapi tekanan global, baik melalui instrumen perdagangan internasional maupun diplomasi ekonomi. Sementara itu, di sektor bauksit, larangan ekspor yang diterapkan pada 2023 belum menunjukkan dampak signifikan karena keterbatasan kapasitas smelter dalam negeri. Hal ini menandakan adanya kesenjangan antara regulasi dan kesiapan industri nasional.

Jika dibandingkan dengan negara lain, misalnya Codelco di Chile atau Vale di Brasil, terdapat pelajaran penting bagi Indonesia. Codelco, sebagai perusahaan milik negara, beroperasi dengan kerangka regulasi yang jelas di bawah pengawasan pemerintah namun tetap memiliki otonomi manajerial. Dengan begitu, Codelco berhasil menguasai industri tembaga dunia dan menjadi penyumbang utama pendapatan negara. Vale di Brasil pun memperlihatkan model di mana sinergi antara badan negara, riset, dan industri dapat meningkatkan daya saing global. Indonesia melalui Badan Industri Mineral Nasional dapat belajar dari kedua contoh tersebut: bukan sekadar membentuk badan baru, tetapi memastikan adanya sinkronisasi regulasi, tata kelola yang transparan, dan arah pembangunan industri berbasis mineral yang konsisten.

Dengan demikian, desain regulasi yang ideal tidak hanya soal peraturan tertulis, tetapi juga bagaimana regulasi tersebut mampu menjembatani kepentingan nasional dengan realitas global. Badan Industri Mineral harus memastikan bahwa setiap kebijakan terkait mineral strategis benar-benar memperkuat kedaulatan negara, mendorong hilirisasi, sekaligus tahan menghadapi tekanan geopolitik dan persaingan global.

Tantangan global: Kompetisi dan ketergantungan

Di panggung global, Indonesia kini berada dalam pusaran kompetisi rantai pasok mineral strategis yang kian ketat. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Tiongkok saling berlomba mengamankan pasokan nikel, kobalt, serta mineral tanah jarang (rare earth) yang menjadi bahan baku utama teknologi energi bersih, kendaraan listrik, hingga perangkat pertahanan canggih. Dalam konteks ini, pembentukan Badan Industri Mineral diharapkan mampu menjadi garda depan dalam melindungi kepentingan nasional. Badan ini harus memastikan bahwa kekayaan mineral Indonesia tidak sekadar diekspor mentah, melainkan diolah di dalam negeri sehingga menghasilkan nilai tambah dan memperkuat kemandirian industri nasional.

Tantangan lain muncul dari tekanan geopolitik. Pengalaman Indonesia saat menghadapi gugatan Uni Eropa di WTO terkait larangan ekspor nikel menunjukkan bahwa kebijakan sumber daya alam tidak bisa dilepaskan dari tarik-menarik kepentingan internasional. Larangan ekspor bauksit yang baru diterapkan pun berpotensi menimbulkan retaliasi dagang dari negara pengimpor yang selama ini bergantung pada pasokan Indonesia. Artinya, Badan Industri Mineral tidak hanya bekerja di ranah teknis, tetapi juga harus siap menghadapi pertarungan diplomasi ekonomi di level global.
Dinamika global juga menunjukkan bagaimana negara lain merancang strategi mineralnya secara agresif. Amerika Serikat, misalnya, melalui Inflation Reduction Act (IRA) 2022 mengalokasikan insentif besar untuk mengamankan rantai pasok baterai kendaraan listrik, termasuk menjalin kemitraan dengan negara penghasil mineral. Sementara itu, Tiongkok mengendalikan lebih dari 60% pasokan dan pemurnian rare earth dunia, serta menggunakan kebijakan ekspor sebagai instrumen politik dan ekonomi. Bahkan pada 2023, Tiongkok membatasi ekspor galium dan germanium—dua mineral penting dalam semikonduktor—sebagai respons atas tekanan perdagangan dari Barat. Dua contoh ini menunjukkan bahwa mineral strategis telah menjadi senjata geopolitik baru di abad ke-21.

Di sisi lain, Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan posisinya. Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, serta potensi bauksit, tembaga, dan rare earth yang melimpah, Indonesia dapat menegosiasikan kemitraan internasional yang lebih setara. Badan Industri Mineral harus menjadi instrumen utama untuk memastikan bahwa kerja sama global tidak menempatkan Indonesia hanya sebagai pemasok bahan baku murah, melainkan sebagai aktor penting dalam ekosistem industri global—mulai dari riset, pengolahan, hingga manufaktur produk berbasis mineral. Inilah ujian nyata: apakah Indonesia tetap menjadi “ladang pasokan” atau mampu bertransformasi menjadi pusat kekuatan industri mineral dunia.
 
Analisis perbandingan strategi global

Jika meniru strategi Amerika Serikat melalui Inflation Reduction Act (IRA), Indonesia dapat memperoleh keuntungan berupa percepatan hilirisasi mineral melalui pemberian insentif fiskal yang menarik investor global, khususnya di sektor baterai kendaraan listrik dan energi bersih. Dengan kepastian regulasi dan dukungan anggaran, Indonesia bisa memperkuat posisinya sebagai mitra strategis dalam rantai pasok global yang ramah lingkungan. Namun, strategi ini juga memiliki kelemahan: beban fiskal yang besar dapat membebani APBN, sementara dominasi perusahaan multinasional berisiko menciptakan ketergantungan baru jika transfer teknologi tidak diatur secara tegas. Selain itu, insentif bagi investor asing bisa berbenturan dengan kepentingan industri nasional dan UMKM yang seringkali kurang dilindungi.

Di sisi lain, meniru strategi Tiongkok dengan mengendalikan ekspor mineral strategis juga memberi peluang besar. Dengan cara ini, Indonesia bisa memperkuat posisi tawar di pasar global, memaksa negara pengimpor untuk bernegosiasi dengan syarat yang lebih menguntungkan, dan menjaga cadangan mineral agar tidak terkuras terlalu cepat. Namun, kebijakan tersebut membawa risiko besar: potensi gugatan di forum internasional seperti WTO, retaliasi dagang dari negara pengimpor, hingga masalah kelebihan pasokan dalam negeri jika kapasitas industri belum siap menyerap. Hal ini bisa berujung pada kerugian ekonomi jangka pendek yang justru melemahkan tujuan awal.
Oleh karena itu, jalan terbaik bagi Indonesia adalah memilih strategi adaptif yang memadukan keduanya. Badan Industri Mineral harus mampu merancang regulasi yang di satu sisi memberikan stimulus bagi hilirisasi dan pengembangan riset teknologi, sebagaimana pendekatan Amerika Serikat, dan di sisi lain tetap menjaga kedaulatan sumber daya dengan kontrol ekspor selektif ala Tiongkok. Dengan kombinasi ini, Indonesia tidak hanya menjadi pemasok bahan mentah, tetapi juga aktor strategis yang mampu mengolah, menguasai teknologi, dan memimpin ekosistem industri mineral global.

Jalan ke depan: Antara visi dan implementasi

Harapan besar memang melekat pada badan ini: melindungi sumber daya nasional, memastikan hilirisasi, hingga membawa Indonesia menjadi pusat industri mineral dunia. Namun, visi tanpa implementasi yang konsisten hanya akan menjadi jargon. Kuncinya adalah memastikan regulasi yang tegas, kepemimpinan yang bersih, serta kemampuan adaptif dalam menghadapi perubahan geopolitik dan dinamika teknologi global.

Badan Industri Mineral bukan sekadar lembaga baru; ia adalah simbol keberanian bangsa dalam menata ulang tata kelola sumber daya alam. Namun, keberanian itu harus dibarengi dengan regulasi yang matang dan strategi global yang visioner, agar benar-benar menjadi instrumen kedaulatan sekaligus kesejahteraan rakyat Indonesia.

img
Ismail Rumadan
Kolomnis
img
sat
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan