Revisi terhadap UU Penyiaran menjadi semakin mendesak seiring perkembangan teknologi dan media digital yang pesat.
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Abraham Sridjaja, menegaskan komitmennya untuk segera menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang telah lama tertunda sejak tahun 2012. Menurutnya, revisi terhadap UU Penyiaran menjadi semakin mendesak seiring perkembangan teknologi dan media digital yang pesat.
“RUU Penyiaran ini sudah masuk Prolegnas Prioritas dan harus segera dibahas. Tapi pembahasan harus hati-hati agar tidak tumpang tindih dengan kewenangan lembaga lain,” ujar Abraham dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Selasa (17/6).
Ia menyoroti perbedaan definisi penyiaran konvensional dan konten digital seperti over-the-top (OTT) services, termasuk Netflix, YouTube, TikTok, dan sebagainya, yang belum sepenuhnya diakomodasi dalam regulasi saat ini. Karena itu, Komisi I membuka wacana untuk memisahkan pengaturan antara penyiaran konvensional dan digital agar lebih tepat sasaran dan tidak menimbulkan konflik kewenangan antarlembaga.
“Kalau kita mengacu pada definisi internasional, broadcasting itu berbeda dengan digital platform. Kalau disatukan begitu saja, bisa jadi ada lembaga yang kewenangannya jadi terlalu besar, dan ini berbahaya kalau tidak ada pengawasan yang tepat,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan potensi tumpang tindih pengawasan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), dan Dewan Pers, jika revisi dilakukan tanpa kerangka hukum yang jelas. Karena itu, Komisi I sedang mempertimbangkan opsi penyesuaian nomenklatur menjadi RUU Penyiaran dan Konten Digital, serta kemungkinan pembentukan lembaga baru khusus pengawasan ruang digital.