DPR berniat mengebut rancangan undang-undang transportasi online demi memberikan kepastian hukum bagi pengemudi ojol.
Sejumlah tuntutan mengemuka dalam gelombang aksi unjuk rasa pengemudi ojek online (ojol) dan transportasi daring di sejumlah titik di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia, Selasa (20/5). Di antara lainnya, para demonstran mengeluhkan status kemitraan yang merugikan pengemudi serta potongan dari perusahaan aplikasi yang kian mencekik.
"Sudah berkali-kali kami aksi damai, namun semuanya seperti dianggap remeh oleh pemerintah maupun aplikator sehingga pihak aplikator makin menjadi-jadi membuat program-program hemat dan prioritas yang sangat merugikan pengemudi online," kata Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojol Garda Indonesia Raden Igun Wicaksono.
Sehari setelah aksi unjuk rasa besar-besaran itu, sebanyak 66 asosiasi pengemudi ojek online (ojol) diundang Komisi V ke Gedung DPR. Usai rapat dengar pendapat, Ketua Komisi V DPR Lasarus menyatakan DPR akan segera membahas rancangan undang-undang mengenai angkutan online.
"Poin penting yang mereka sampaikan adalah meminta supaya potongan maksimal itu 10%. Fokusnya di situ. Kedua, minta segera dibuatkan regulasi yang mengatur tentang angkutan online," kata Lasarus kepada wartawan di Kompleks Parlemen.
Ini kesekian kali komunitas ojol menggelar aksi unjuk rasa. Februari, tepatnya jelang Idul Fitri 2025, ribuan pengemudi ojol juga berunjuk rasa menuntut pemberian tunjangan hari raya (THR) bagi pengemudi. Sempat menolak, Gojek cs akhirnya mencairkan THR secara proporsional kepada para pengemudi ojol.
Peneliti di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andy Ahmad Zaelany sepakat transportasi online diatur dalam UU khusus. Selama ini, sistem kemitraan yang berlaku antara aplikator dan mitra cenderung tak adil bagi pengemudi dan terkesan hanya menguntungkan perusahaan.