Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana melakukan penyesuaian tarif ojek online sebesar 8% hingga 15%. Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub, Aan Suhanan mengatakan, wacana itu masih dalam tahap kajian menyeluruh yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
“Artinya, ini belum berupa keputusan final, prosesnya masih banyak, masih panjang," kata Aan ditemui di Jakarta, Rabu (2/7), dikutip dari Antara.
Kajian yang dilakukan, kata Aan, mencakup struktur pembagian pendapatan antara aplikator dan mitra pengemudi, serta usulan pembatasan potongan maksimal sebesar 10% yang menjadi tuntutan para mitra.
Pengemudi ojek online, Romdon, 22 tahun, menyambut baik rencana kenaikan tarif ini. Secara teori, kata dia, wacana kenaikan tarif akan berdampak positif terhadap pendapatan harian. Namun, dia menyoroti, dampak positif dari kebijakan ini sangat bergantung pada kestabilan jumlah order atau penumpang harian. Di sisi lain, dia pun khawatir.
“Kalau tarif naik malah bikin pelanggan jadi sepi, ya itu bisa jadi bumerang juga buat kita sebagai driver,” kata Romdon kepada Alinea.id, Sabtu (5/7).
Saat ini saja, dalam waktu empat hari terakhir, dia mengaku hanya mendapat satu penumpang. Meski sudah aktif sejak pagi hingga sore. Romdon pun mengeluhkan besarnya potongan yang diambil oleh aplikator.
“Yang paling memberatkan selama ini sebenarnya potongan dari aplikator yang mencapai 20%,” ujar Romdon.
Dia menjelaskan, dari satu order senilai Rp20.000 misalnya, driver ojek online hanya menerima Rp16.000. Jika dikalikan 10 order dalam sehari, potongan tersebut bisa mencapai lebih dari Rp40.000. Romdon berharap, kebijakan kenaikan tarif diiringin pula dengan evaluasi terhadap skema potongan aplikator.
“Agar pendapatan kami benar-benar terasa meningkat,” tutur Romdon.
Sementara itu, pengamat transportasi Muslich Zainal Asikin menilai, wacana kenaikan tarif ojek online tidak sejalan dengan kondisi inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Jika diterapkan, kebijakan ini justru berpotensi menambah beban masyarakat kelas menengah dan pekerja harian.
“Masalah utamanya bukan tarif, tapi soal pendapatan driver. Bagi hasil yang tidak adil, seperti potongan sampai 20%, sangat memberatkan,” ujar Muslich, Jumat (4/7).
Muslich mengatakan, perusahaan seperti Gojek dan Grab telah memonopoli pasar, sedangkan pemerintah belum cukup mendorong munculnya alternatif layanan serupa di daerah. Dia pun mendorong pemerintah agar membuka ruang bagi pengembangan ojek daring lokal. Jika perlu, menyediakan aplikasi milik pemerintah yang dijalankan secara koperasi.
“Supaya ada persaingan yang sehat. Sekarang, dua pemain besar itu sudah terlalu dominan,” tutur dia.
Lebih lanjut, Muslich menuturkan, dampak kenaikan tarif ojek daring akan mendorong masyarakat, terutama kelompok menengah dan bawah, mencari alternatif transportasi yang lebih murah.
“Ini bisa kontraproduktif dengan upaya pemerintah mendorong angkutan umum,” ujar Muslich.