close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Reuters
icon caption
Ilustrasi. Reuters
Peristiwa
Senin, 07 Juli 2025 19:04

Sia-sia jika tarif ojol naik, tapi potongan Gojek cs tetap tinggi

Kementerian Perhubungan berencana menaikkan tarif ojek daring atau ojek online (ojol) pada kisaran 8-15%.
swipe

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana menaikkan tarif ojek daring atau ojek online (ojol) pada kisaran 8-15%. Saat ini, aturan kenaikan tarif itu sedang difinalisasi. Rencananya, kenaikan tarif bervariasi, tergantung zona para pengguna aplikasi. 

“Kami kaji sesuai dengan zona yang sudah ditetapkan. Bervariasi, kenaikan tersebut ada 15%, ada 8%, tergantung dari tiga zona yang kita tetapkan,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Aan Suhanan dalam rapat kerja bersama Komisi V DPR RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, akhir Juni lalu. 

Tarif ojol saat ini diatur Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor KP 564 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi. Regulasi itu mengatur tarif dan biaya jasa. 

Zonasi sudah diberlakukan dalam beleid itu. Zona I, misalnya, meliputi Sumatera dan sekitarnya serta Jawa dan sekitarnya selain Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek); serta Bali. Besaran biaya jasa batas bawah di zona I adalah Rp 1.850 per kilometer, biaya jasa batas atas sebesar Rp 2.300 per kilometer. 

Zona II meliputi wilayah Jabodetabek. Besaran biaya jasa batas bawah di Zona II adalah Rp 2.600 per kilometer, biaya jasa batas atas Rp 2.700 per kilometer, dan biaya jasa minimal dengan rentang biaya jasa kisaran Rp13.000 hingga Rp 13.500. 

Ketua Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati pesimistis kenaikan tarif ojol bakal mendongkrak kesejahteraan para mitra. Kenaikan itu, kata Lily, akan sia-sia jika pemerintah tak diiringi penurunan potongan komisi yang diambil perusahaan pengelola aplikasi. 

"Rencana kenaikan tarif ojol sebesar 8-15 persen tidak akan berdampak pada pendapatan kami bila potongan platform tidak diturunkan," kata Lily Pujiati kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini. 

Lily menjelaskan bahwa potongan platform saat ini seringkali tidak mengikuti aturan maksimal 20% yang telah ditetapkan pemerintah untuk layanan angkutan penumpang. Situasi lebih buruk terjadi pada layanan pengantaran barang dan makanan, di mana tarif dan potongannya diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar atau ditentukan sepihak oleh aplikator.

"Kami mendapati potongan platform hingga 70%. Sebagai contoh, seorang pengemudi ojol hanya mendapatkan Rp 5.200 untuk pengantaran makanan, padahal konsumen membayar Rp 18.000 kepada platform," ungkapnya.

Di sisi lain, lanjut Lily, para pengemudi ojol, taksi online (taksol), dan kurir harus menanggung sendiri berbagai biaya operasional harian, mulai dari bensin, parkir, pulsa, paket data, servis rutin kendaraan, penggantian suku cadang, hingga cicilan gawai dan kendaraan.

SPAI menyuarakan beberapa tuntutan untuk pemerintah dan perusahaan. Pertama, menurunkan potongan platform menjadi 10% atau bahkan menghapuskannya sama sekali. "Kami minta dibayarkan dengan skema UMP agar ada kepastian pendapatan bagi pengemudi ojol, taksol, dan kurir setiap bulannya," tegas Lily.

Selain itu, SPAI juga mendesak agar praktik diskriminatif seperti skema slot, aceng (argo goceng), hub, GrabBike Hemat, dan sistem level/prioritas dihapuskan. Menurut Lily, skema tersebut menciptakan ketidakadilan karena order diprioritaskan hanya kepada pengemudi yang tergabung dalam program tersebut.

Tuntutan terakhir yang tak kalah penting adalah perubahan status hukum dari "kemitraan" menjadi "pekerja platform". Hal ini sejalan dengan kesepakatan seluruh negara anggota Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dalam International Labour Conference (ILC) ke-113 di Jenewa pada awal Juni lalu.

"Kami mendesak Kementerian Perhubungan untuk menghapuskan pasal hubungan kemitraan dalam peraturannya, dan meminta Kementerian Ketenagakerjaan mengadopsi ketentuan internasional itu ke dalam regulasi nasional seperti RUU Ketenagakerjaan," jelasnya. 

 

img
Adityia Ramadhani
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan